Minggu, Maret 30, 2008

Update PCMAV 1.1 Build3-XFly

Ada 9 virus baru yang banyak dilaporkan menyebar di Indonesia berhasil diatasi pada Update Build3 kali ini. Bagi Anda pengguna PCMAV 1.1 sangat disarankan segera melakukan update, agar PCMAV Anda dapat mengenali dan membasmi virus lebih banyak, terutama virus jenis VBS yang banyak dilaporkan menyebar luas saat ini. Jadi, total penambahan virus sampai update build3 kali ini adalah 27 virus.
download:
SendSpace.com
gudangUpload.com
Badongo.com

XFly
PC Media Antivirus mengenali dua varian dari virus ini, yakni XFly.A dan XFly.B. Sama seperti kebanyakan virus lokal lainnya, ia dibuat menggunakan Visual Basic. Memiliki ukuran tubuh sebesar 143.360 bytes tanpa di-compress. Dan ia dapat menyamar sebagai folder, file MP3 WinAmp atau yang lainnya dengan cara mengubah secara langsung resource icon yang ada pada tubuhnya. Ini akan lebih mempersulit user awam dalam mengenalinya. Pada komputer terinfeksi, saat menjalankan Internet Explorer, caption-nya akan berubah menjadi “..:: x-fly ::..”, dan saat memulai Windows pun akan muncul pesan dari si pembuat virus pada default browser. Atau setiap waktu menunjukan pukul 12:30, 16:00, atau 20:00, virus ini pun akan menampilkan layar hitam yang juga berisi pesan dari si pembuat virus.

Daftar Tambahan Virus PCMAV 1.1 Update Build3:
CintaLau
CintaLau.htm
Cyrax-Nelly
Foldres
Gen.FFE-Asraycx
Gen.FFE-Asraycx.txt
Gen.FFE-GuitarHero
Gen.FFE-GuitarHero.txt
Gen.FFE-Mutant
Gen.FFE-Mutant.txt
Koplaxz.A
Koplaxz.B
Koplaxz.htm.A
Koplaxz.htm.B
Koplaxz.htm.C
Koplaxz.inf
Reva.vbs
Reva.vbs.inf
Reva.vbs.jpg
Rikriknong
Tuna.vbs
Tuna.vbs.inf
XFly.A
XFly.B
XFly.html
XFly.inf.A
XFly.inf.B

sumber:
virusindonesia.com

Selengkapnya.....

Update PCMAV 1.1 Build2-CintaLau

Update PCMAV 1.1 Build2 hadir dengan penambahan 11 virus yang banyak dilaporkan menyebar di Indonesia. Total penambahan pengenal virus di versi 1.1 ini sampai dengan Update Build2 adalah sebanyak 18 virus. Bagi Anda pengguna PCMAV 1.1 sangat disarankan segera melakukan update agar PCMAV dapat mengenali dan membasmi virus lebih banyak, terutama virus jenis VBS yang banyak dilaporkan menyebar luas saat ini.
buat download:
sendspace.com
badongo.com


CintaLau
Virus yang dibuat menggunakan Visual Basic ini memiliki ukuran tubuh sebesar 94.208 bytes tanpa di-compress. Ia menggunakan icon mirip default file HTML atau Internet Explorer. Saat virus ini aktif, ia akan banyak sekali membuat duplikat di setiap penjuru harddisk komputer korban, baik menyerupai nama file yang sudah ada maupun menggunakan nama file pilihannya sendiri seperti Anak2_RPL_SMK7.exe, Tebak2an_Paling_Lucu.exe, dan masih banyak lagi yang lainnya. Pada root drive pun akan terdapat file virus dengan nama Cinta_Laura.jpg dan Shiren_Sungkar.jpg. Pada waktu tertentu ia pun akan menampilkan about box, dan di saat memulai Windows virus ini akan menampilkan pesan dalam bentuk file HTML dari sang pembuatnya.

Daftar Tambahan Virus PCMAV 1.1 Update Build2:
CintaLau
CintaLau.htm
Cyrax-Nelly
Foldres
Gen.FFE-Asraycx
Gen.FFE-Asraycx.txt
Gen.FFE-GuitarHero
Gen.FFE-GuitarHero.txt
Gen.FFE-Mutant
Gen.FFE-Mutant.txt
Koplaxz
Koplaxz.htm.A
Koplaxz.htm.B
Koplaxz.inf
Reva.vbs
Reva.vbs.inf
Reva.vbs.jpg
Rikriknong

Sumber:
virusindonesia.com

Selengkapnya.....

Senin, Maret 17, 2008

Update build1 - PCMAV 1.1

7 virus baru yang banyak dilaporkan menyebar di Indonesia berhasil diatasi pada Update Build1 kali ini. Bagi Anda pengguna PCMAV 1.1 sangat disarankan segera melakukan update, agar PCMAV Anda dapat mengenali dan membasmi virus lebih banyak, terutama virus jenis VBS yang banyak dilaporkan menyebar luas saat ini.


Untuk mendapatkan dan menggunakan update PCMAV ini, pastikan terlebih dahulu PCMAV RealTime Protector tidak sedang berjalan. Jika iya, Anda harus menutup aplikasi tersebut terlebih dahulu. Lalu Anda cukup menjalankan PCMAV Cleaner (PCMAV-CLN.exe), tentunya komputer harus dalam keadaan aktif terhubung ke Internet (non-proxy). Fitur GetUpdates dari PCMAV secara otomatis akan memberikan alamat internet yang aktif di mana Anda bisa men-download file update tersebut. Letakkan file hasil download tersebut (PCMAV.vdb) ke dalam folder di mana PCMAV berada. Jika sebelumnya telah terdapat file update yang lama, Anda cukup menimpanya. Dan nanti saat Anda kembali menjalankan PCMAV, ia sudah dalam keadaan kondisi ter-update.

Namun bagi Anda yang ingin mendapatkan file update tersebut secara manual, Anda bisa men-download file-nya melalui beberapa alamat ini:
gudangupload
sendspace

Selengkapnya.....

PC Media Antivirus (PCMAV) 1.1


PC Media Antivirus 1.1 resmi dirilis ke publik bersamaan dengan terbitnya majalah PC Media edisi 04/2008 dan juga bertepatan dengan ulang tahun ke-7 majalah komputer terbesar di Indonesia ini. Pada rilis kali ini, PCMAV mampu mengenali 1.682 virus beserta variannya yang banyak dilaporkan menyebar luas di Indonesia.


APA YANG BARU DI PCMAV 1.1 (CLEANER & REALTIME PROTECTOR)?

a.Ditambahkan, database pengenal dan pembersih 67 virus
lokal/asing/varian baru yang dilaporkan menyebar di Indonesia.
Total 1.682 virus beserta variannya yang banyak beredar di
Indonesia telah dikenal di versi 1.1 ini oleh engine internal PCMAV.

b.Improvisasi, modul integrasi ClamAV. Karena library ClamAV yang
baru telah di-update menjadi versi 0.92, maka ada beberapa perbedaan
struktur header dari library tersebut. Jika sebelumnya terdapat
kesulitan dalam mengintegrasikan ClamAV yang baru ini, kini
sudah dapat diatasi dan ClamAV dapat terintegrasi dengan baik.

c.Optimasi, engine scan memory terutama dalam mengatasi virus jenis
VBScript yang sekarang banyak menyebar luas di Indonesia. Engine
scan memory kini dapat lebih optimal dalam membaca setiap process
yang aktif berikut parameter yang digunakan oleh process tersebut.

d.Ditambahkan, engine cleaner khusus yang dapat memperbaiki file .JPG
yang terinfeksi oleh virus SangPerawan.

e.Improvisasi, pada modul auto update PCMAV. Dan penamaan file update
sejak 1.1 menjadi PCMAV.VDB.

f.Improvisasi, rutin yang mengatur masalah tampilan informasi jika ada
virus yang tercegat oleh RTP.

g.Diperbarui, perubahan beberapa nama virus mengikuti varian baru yang
ditemukan.

h.Diperbaiki, kesalahan deteksi (false alarm) pada beberapa program
ataupun script.

i.Perbaikan beberapa minor bug dan improvisasi kode internal untuk
memastikan bahwa PCMAV Cleaner & PCMAV RealTime Protector lebih
dari sekadar antivirus biasa.

download PCMAV 1.1 (2,13 MB):
indowebster
ziddu

Selengkapnya.....

Rabu, Maret 12, 2008

Batu, Yahudi dan Islam`

Batu memiliki sejarah yang panjang terhadap perkembangan Islam. terutama pasang surut hubungan kaum muslimin dengan kaum Yahudi.Saat membenci Nabi Muhammad SAW, simbol kebencian mereka adalah batu yang digunakan untuk melempar nabi.


Yang kemudian oleh para sahabat, untuk melindungi nabi, juga membalas perlakuan kaum Israel itu juga dengan batu. di kalangan kaum yahudi, para pezina diukum dengan cara dilempari batu, dan kemudian Nabi Muhammad juga melakukan sanksi hukum yang sama.
batu sangat berkaitan erat dengan yahudi. dan kini kaum tersebut juga harus berhubungan dengan benda bernama batu. ketika mereka menjajah Negara Berdaulat Palestina, dengan persenjataan modern terlengkap, mereka menghadapi perlawanan dari bangsa palestina dengan lemparan batu. gerakan perlawanan inilah yang kemudian terkenal dengan nama Intifadhah. Mengapa batu yang digunakan untuk berjuang? Selain karena hal teknis ketiadaan senjata perlawanan yang memadai, hal ini sebagai simbol bahwa batu yang dilemparkan itu adalah bagian dari hati para kaum yahudi tersebut. itulah kenapa Allah sampai menamsilkan hati para kaum yahudi yang keras tersebut laksana sebuah batu. hati mereka sekeras batu. tidak juga melunak ketika melihat penderitaan bangsa yang mereke jajah. bahkan kerasnya hati mereka itu, mengalahkan kerasnya batu yang ada di dunia ini. Yang menurut beberapa siroh nabi, batu pun malu disamakan dengan hati kaum yahudi. dan kelak hubungan batu dengan kaum yahudi pun akan berakhir. yakni saat pohon dan batu saling mengatakan, "Wahai Muslim, ini ada orang Yahudi, kemari dan bunuhlah ia".
Wallahualam bishowaf

Selengkapnya.....

Kamis, Maret 06, 2008

Kisah dibalik Film Ayat-Ayat Cinta(thelast)

Shooting di Jakarta sudah selesai. Aku puas dengan kerja tim AAC yang solid. Sekalipun berat, tetap commit untuk menyelesaikan film ini apapun hambatannya. Padahal secara legal, kontrak crew sudah habis 1 bulan sebelumnya. Artinya, mereka bekerja tanpa ikatan kontrak lagi. Ini yang membuat aku terharu atas commitment mereka. Terlebih lagi, banyak diantara mereka non-muslim. Tapi tidak satupun dari mereka yang mengkaitkan keyakinan itu dengan kualitas kerja mereka.

Sebagaimana sudah direncanakan sebelumnya, meski Allan bisa menyulap Semarang dan Jakarta jadi kairo. Secara geografis, tidak akan tergambar jika tidak ada shooting di Kairo. Awalnya producer sudah puas dengan hasil shooting di Indonesia tanpa perlu shooting di Kairo. Saya sangat keberatan.

Sebenarnya, dari hasil sisa adegan yang belum diambil, hanya membutuhkan waktu 5 hari saja shooting di kairo. Akhirnya producer mengerti dan menjalin hubungan dengan local production lain di kairo. Local producer itu sering menangani film-film asing yang shooting di Cairo. Sebuah perusahaan yang juga berpengalaman d bidang produksi film. Setelah melihat konsep film AAC, dia menawarkan harga untuk shooting disana selama 5 hari. Jumlah yang diajukan sebesar 3 Milyar untuk shooting 5 hari. Nilai yang bahkan di Indonesia bisa membuat satu film.

'Angka yang tidak masuk akal' kata producerku. Aku sepakat dengan producerku, meski aku tahu konsekwensi membuat film sesuai dengan novel Kang Abik memang berbujet besar. Tapi aku tetap tidak percaya degan penawaran itu. Setelah kita cek quote yang diajukan, aku melihat item-item yang tidak rasional. Misalnya, makan per orang dia budjet kan 100 US $ sehari. Padahal pada saat riset di sana , aku bisa makan dengan 25 ribu sehari. Bujet penawaran itu tidak bisa ditawar kecuali kita mengurangi jumlah hari dan kru. Negosiasi tertutup.

Kemudian muncul gagasan shooting di India dari salah seorang staf perusahaan MD yang orang India . Dia berjanji bisa menyediakan lokasi yang kita butuhkan mirip Cairo . Semula aku ragu, tapi setelah ditunjukkan foto-foto lokasi di India , saya jadi yakin. Dalam foto itu tergambat Sungai Nil, sudut kota kairo, Taman Al azhar University, Padang Pasir lengkap dengan unta-unta dan kafilah. Hanya pyramid saja yang tidak ada. Tapi itu bisa dibuat di studio menggunakan Computer Graphics Imagery (CGI) yang lebih dikenal dengan special effect.

Disaat persiapan menuju India , tercetus ide untuk tetap bisa shooting di Kairo dengan dibarengi workshop film buat mahasiswa Indonesia-Al Azhar. Lalu aku menghubungi PCIM (Pimpinan Cabang Islam Muhammadiyah) . Mereka setuju dengan ideku. Kita bahkan dibantu KBRI. Di Kairo, aku dan PCIM berencana menggelar workshop dengan peserta anggota PCIM (mereka adalah mahasiswa Indonesia yang sekolah di Azhar Univ yang menjadi anggota Muhammadiyah) dan akan Shooting mengambil suasana kota dengan kamera kecil bersama dengan mahasiswa peserta workshop tersebut.

Biasanya, kegiatan yang mengatasnamakan mahasiswa tidak perlu ijin berbelit-belit. Maka segala sesuatu dipersiapkan. Dari Jakarta, tim yang berangkat ke India 20 orang termasuk pemain, tetapi 6 diantaranya berangkat duluan ke Kairo selama 4 hari. 6 orang tersebut adalah, Fedi Nuril, Faozan Rizal (Kamera), Kasnan (Asisten Kamera), seorang pengawal alat, Adi molana (tata suara) dan aku.

Producer setuju dengan rencana tersebut. Tapi ditengah persiapan itu, muncul kendala di pengurusan Visa. Karena hari shooting di India dan Kairo berurutan, membuat pengurusan visa tarik-tarikan antara keduanya. Waktu kita hanya 1 minggu sebelum keberangkatan shooting, sementara mengurus Visa di India membutuhkan waktu 4 sampai 5 hari karena jumlah orang yang akan berangkat banyak. Begitupun mengurus Visa Kairo. Akhirnya aku minta tolong pihak PCIM dengan bantuan KBRI menguruskan visa on arrival. KBRI setuju dan sudah menghubungi pihak emigrasi cairo bahwa akan datang tim dari Indonesia berjumlah 6 orang untuk workshop. Kamipun senang dengan kabar tersebut. Terbayang eksotisnya kota kairo, kios-kiosnya, menara-menara masjid yang menjulang, jalan raya yang macet, kampung- el giza . Bahkan pihak KBRI bisa menyediakan fasilitas khusus masuk kawasan pyramid dengan bebas. Rasa optimisku bangkit lagi. Akhirnya … aku bisa shooting di Kairo …

Tapi, lagi-lagi semua itu cuma mimpi. Sesampainya di bagian Check In Bandara Sukarno-Hatta, aku dan 5 kru lainnya tidak boleh berangkat. Waktu itu kami berencana terbang ke Kairo dengan Sinagpore Airlines (SQ). Pihak SQ tidak bisa memberangkatkan kami dengan alasan tidak ada visa. Aku menjelaskan, bahwa kita dapat fasilitas Visa on Arrival dari KBRI Cairo. Mereka minta bukti tertulis dari pihak KBRI sebagai pegangan. Aku tunjukkan undangan dari PCIM untuk workshop atas nama Muhammadiyah ke pihak SQ. Mereka tidak mau terima. Yang mereka minta adalah surat tertulis yang menjamin 6 orang yang diterbangkan SQ bisa diterima di Kairo. Itu tanggungjawab Airlines atas keselamatan penumpang. Aku segera telpon pihak PCIM untuk menghubungi KBRI. Ternyata hari itu kantor KBRI libur. Sekalipun bisa terhubung secara pribadi dengan bagian konsulat KBRI, tapi untuk urusan administrasi harus melalui kantor. Akhirnya, kami tidak jadi berangkat. Kamera yang sudah kita sewa, tiket yang sudah
kita beli dan segala harapan untuk bisa shooting di Kairo buyar … Dada ini terasa sakit sekali. Dalam perjalanan meninggalkan bandara Soekarno-Hatta, tanpa sadar, air mataku meleleh lagi. Ya Alloh, Apakah aku terlalu kotor memproduksi film ini, maka kau berikan hambatan buatku untuk yang terbaik?

Tidak ada harapan lagi kecuali shooting ke India saja. Untuk saat ini, sebuah kemewahan bisa membayangkan film ini sesuai dengan harapan Kang Abik dan pembaca fanatik AAC. Yang bisa aku lakukan hanyalah menyelesaikan film ini semaksimal yang aku bisa.

Pesawat Malaysia Airlines take off dari Jakarta membawa 20 Kru dan pemain AAC beserta dua kopor berisi Kostum pemain, 3 kopor berisi property keperluan Artistik dan dua kopor lain berisi bahan baku film 35mm serta kabel-kabel. Kira-kira 8 jam perjalanan, kami mendarat di Banglore untuk transit. Saat itu malam hari. Udara agak dingin. Pesawat yang membawa kita ke Bombay baru besok pagi sekitar jam 10 take off dari bandara. Menurut travel agent di Jakarta , di Banglore kita disediakan penginapan.

Tetapi kenyataannya bukan penginapan sebagaimana layaknya sebuah hotel transit di bandara international. Kita disediakan satu apartement dengan 6 kamar. Padahal kami berjumlah 20 orang dimana tidak semuanya laki-laki. Kopor kami juga banyak. Tidak layak buat kami untuk menempati satu apartement. Malam itu sudah jam 12 malam. Pihak administrasi apartement sudah tutup untuk meminta tambahan satu apartement lagi. Kami kebingungan sendiri. Setelah beberapa lama terkatung-katung, salah seorang pembantu apartement lain menawari bisa memakai apartementnya kalau cuma buat semalam, karena pemiliknya sedang keluar kota . Akhirnya kami patungan menyewanya. Apartement itu untuk crew dan pemain perempuan. Aku bersama crew laki-laki lainnya saling tumpang tindih di apartement satunya. Aku dan Rajish (Make up artist) tidur di sofa depan. Faozan Rizal dan tim kamera tumpuk-tumpukan satu kamar. Fedi, Oka dan Iqbal tidur satu ranjang bertiga. Lainnya tidur sekenanya.

Tepat jam 11 siang kami meninggalkan Banglore menuju Bombay . Kami sudah dijemput sebuah bis yang akan membawa kami 15 jam menuju Jodhpur . Bayangan kami, Jodhpur adalah kota kecil yang tidak ada bandaranya disana. Tapi ternyata Jodhpur adalah kota wisata. Banyak turis eropa-Amerika datang kesana menggunakan pesawat, apalagi di bulan-bulan November. Bandaranya-pun lebih bagus dari Halim Perdanakusuma. Jadi penggunaan bis semata-mata buat ngirit bujet produksi, mengingat harga tiket Bombay-Jodhpur di bulan-bulan libur naik. Kami cuma menghela nafas. 15 jam perjalanan, bayangan kami, seperti perjalanan Jakarta Surabaya. Tidak apalah, aku bisa istirahat di bis, pikirku.

Setelah keluar dari bandara Bombay dengan tumpukan kopor-kopor, kami melihat bis yang disediakan kami kecil. Warnanya kuning. Bis tersebut bukan selayaknya kendaraan tempuh Jakarta-Surabaya. Bis itu seperti bis Jakarta-Sukabumi yang diberi AC. Tempat duduknya sempit hanya memuat 20 orang saja. Sedangkan kopor-kopor kami banyak. Aku komplain dengan orang india (staff MD) yang mengurusi kami disana. Dia bilang, bis ini disediakan berdasarkan bujet dari producer. Kami tetap tidak mau naik. Aku melihat wajah teman-teman kusut. Tika (line producer AAC) marah dan meminta local unit menyediakan tiket pesawat. Sayangnya, tiket pesawat ke jodhpur habis sampai 3 hari kedepan. Setelah berdebat lama, akhirnya kami disediakan satu mobil kijang khusus untuk kopor-kopor. Allan menyertai kopor-kopor itu di mobil Kijang. Yang lainnya naik bis. Fedi yang berkaki panjang menduduki bagian belakang tepat di selasar tengah bis diapit Rianti, Prita (Pencatat Script), dan Clarissa. Ditengah
diisi Oka , Pao, Tarmiji, Kasnan (tim kamera), Adi molana dan pak Rajish. Di depan ada Aku, Retno Damayanti (kostum), mbak Tia (asisten Retno) dan Tika. Seorang supir bernama Ganesh membawa kami membelah negeri India melintasi Gujarat . Sebuah perjalanan panjang dan melelahkan terbayang …

Perjalanan Bombay-Jodhpur mirip seperti perjalanan Jakarta-Surabaya. Padang Ilalang terbentang di kiri kanan. Rumah-rumah gubuk, warung-warung tempat mangkal bis dan Container berderetan sepanjang jalan seperti di film Iran Café Transit, jajaran rumah-rumah pedesaan diselingi pohon-pohon besar dan sawah-sawah tandus berseliweran. Pemandangan luar biasa buatku. Eksotis. Bis kami melaju bersama dengan puluhan bahkan ratusan truk-truk. Kadang bis kami berhenti sekedar minum teh hangat India yang dicampur susu bersama sopir-sopir berkulit hitam. Di perbatasan Gujarat . Kami mendapat persoalan. Bis kami dilarang melintasi perbatasan karena dokumen tidak lengkap. Selama 2 jam kami dicuekin, sementara Ganesh mondar-mandir dari post satu ke post lainnya yang jaraknya 1 km untuk menyelesaikan administrasi. Terlihat dia begitu stress, dia meminjam Hp Tika untuk menghubungi seseorang. Terlihat dari cara bicaranya, Ganesh sedang bertengkar. Mungkin orang itu yang menyebabkan Ganesh
mendapat persoalan. Kami nyaris balik ke Bombay karena tidak ada ijin melintas. Ditengah situasi panik itu Rianti, Clarrisa, Oka dan Fedi didatangi militer bersenapan karena mereka foto-foto.

'Ini bukan tempat wisata!' kata Militer itu.

Terlihat wajah Rianti pucat karena takut. Akhirnya Ganesh menjelaskan ketidaktahuan kami. Merekapun mengerti. Setelah 2 jam lewat dengan perasaan tidak menentu, kami bisa melintasi perbatasan, melanjutkan perjalanan atas perjuangan Ganesh. Malam yang panjang terasa. Sekalipun sulit buat kami tidur di tempat sempit seperti itu, kami tidak bisa melewatkan rasa ngantuk. Pagi berikutnya kami berhenti di sebuah kota kecil. Kami menyewa losmen kecil buat mandi dan sarapan. Kami istirahat selama 4 jam memberikan kesempatan Ganesh tidur. Di tempat itu kami diliatin penduduk sekitar. Apalagi Rianti dan Clarissa.

Orang-orang India memiliki keramahan berbeda dengan Indonesia . Apalagi bukan di kota besar seperti Bombay , Delhi atau Madrass. Suara mereka yang keras membuat kami mengira mereka marah. Tetapi sebenarnya tidak. Di tempat itu kami baru sadar bahwa kami sudah menempuh 15 jam perjalanan. Tetapi kami masih berada setengah perjalanan menuju Jodhpur . Setelah membuka peta baru kami sadar berapa jarak sebenarnya dan berapa waktu tempuh sebenarnya antara Bombay-Jodhpur. Bombay-Jodhpur berjarak 850km, Kira-kira 24 jam waktu perjalanan darat jika ditempuh secara non-stop.

Kami merasa ditipu. Fedi yang biasanya diam, kini marah-marah, dia protes ke producer atas perlakuan ini. Jawab producerku, pihak MD tidak tahu menau soal ini. Mereka juga minta maaf. Pak Rajish, salah satu karyawan MD dari India bagian make up artis banyak membantu kami. Setidaknya membantu kami berkomunikasi. Ternyata, dibalik semua itu ada yang tidak jujur, memanfaatkan situasi ini untuk mengambil keuntungan. Aku marah, tetapi aku tahu itu tidak ada gunanya. Akibat dari kesalahpahaman ini kami kehilangan waktu dan tenaga yang seharusnya bisa dimanfaatkan buat Shooting. Kami cuma bisa pasrah …

Jam 8 malam, tepat 30 jam perjalanan dari Bombay , kami masuk Hotel. Alhamdulillah, akhirnya kami bisa merebahkan diri di tempat yang layak. Diatas tempat tidur aku melepaskan pikiran. Sepanjang hidupku, tidak pernah aku membayangkan melintasi negeri Gujarat naik bis. Tanpa asuransi, tanpa perlindungan apapun. Untung tidak ada teroris menghadang kami. Sungguh, aku sudah tidak kuat. Aku ingin lari saja dari produksi. Toh, tidak ada jaminan apapun buatku untuk menyelesaikan film ini? Uang? Demi Alloh, gajiku tidak sebanding dengan persoalan yang aku hadapi. Kalau orang mengira aku melakukan ini semua demi uang? Demi jualan? Kehormatan? Wallohi, orang itu benar-benar picik. Tidak ada keuntungan materi yang aku dapat di film ini. Semata-mata hanya idealismeku saja yang berharap Film Indonesia tidak hanya diisi oleh Horor dan percintaan remaja Kota . Tapi apa itu idealisme? Apakah Kang Abik dan jutaan pembaca AAC mengerti soal idealisme ini? Apa yang mereka bisa berikan buat
mengganti segudang persoalan kami disini? Mereka tidak lebih dari sekedar penonton yang menuntut hiburan atau membanding-bandingk an Film dengan Novelnya. Lantas jika tidak sama dengan Novelnya terus mencaci maki, menganggap bodoh dan kafir sutradara yang membuat. Karena hal-hal islami dalam Novel tidak tampak, tidak terasa.

Lagi-lagi dadaku sesak. Tapi aku tidak bisa lari. Aku sudah berjanji kepada diriku, anakku dan ibuku untuk memberikan yang terbaik.

'Kalau kamu sudah bisa membuat film. Buatlah film tentang agamamu.' Kata ibuku yang terus menerus terngiang.

Pagi harinya aku mulai shooting. Dan persoalan seperti tidak selesai. Dari mulai peralatan yang kami pakai sudah ditinggalkan industri India 5 tahun yang lalu alias butut: Lampu-lampu yang fliker (menghasilkan cahaya kelap-kelip seperti neon yang habis watt nya), Kamera tua yang ketika dipakai mengeluarkan bunyi berisik, generator kami yang lebih layak dipakai buat menyalakan mesin pemarut kelapa dibanding buat shooting.

Lalu kru-kru India yang disediakan untuk membantu kami bukan kru profesional. Di bagian akomodasi makanan kami selalu datang telat sehingga banyak yang protes. Tidak hanya kru Jakarta saja yang protes, kru India juga begitu. Suatu kali pernah mereka mogok kerja tidak shooting karena hanya di kasih makan sekali sehari. Padahal shooting sampai jam 12 malam. Di lokasi gurun, kami harus mendaki gunung pasir dengan jalan kaki sebelum menuju lokasi utama. Kami menggunakan Unta buat mengangkat Kamera dan perlengkapannya. Kaki-kaki kami sakit tertusuk tanaman duri. Bibir kami banyak yang pecah karena panas matahari. Sebelum mencapai tempat lokasi, kami istirahat mirip kafilah-kafilah yang kehausan ditengah sahara.

Tapi dari semua kesulitan itu, Alhamdulillah aku bisa menyelesaikannya dengan baik. Lokasi yang aku dapatkan luar biasa. Kecuali lokasi Gurun, lokasi Nil, Taman, Rumah Sakit berada di satu hotel peninggalan Kasultanan Pakistan . Lokasi gurun Pasir kami tempuh 4 jam perjalanan dari Jodhpur . Melelahkan tapi juga menyenangkan. 3 hari kami melakukan shooting dan 2 hari sisanya adalah perjalanan.

Di hari ketiga, rombongan kembali ke Jakarta . Aku bersama 20 cann film hasil shooting di Jodhpur terbang menuju Madras untuk editing dan processing lab. Sastha Sunu, editor Ayat-Ayat Cinta sudah menungguku disana. Sampai tulisan ini dikirim, aku masih menyelesaikan proses film Ayat-Ayat Cinta yang semakin lama semakin rumit secara teknis. Sehingga mengakibatkan jadwal Tayang Ayat-Ayat Cinta mundur di bulan Januari. Aku tidak berani menjelaskan kerumitan itu, karena sifatnya technical sekali. Pendeknya, produksi Ayat-Ayat Cinta adalah produksi yang penuh dengan cobaan dibandingkan 6 filmku sebelumnya.

Semoga Cobaan ini membuktikan Cinta Alloh masih bersama Kami semua …

Selengkapnya.....

Rabu, Maret 05, 2008

Kisah dibalik Film Ayat-Ayat Cinta(part3)

Bukan sekali ini aku mendapatkan persoalan pada saat membuat film. Persoalan buatku adalah sahabat karib. Di Dapur Film aku menekankan ke teman-teman, jika mau terjun ke dunia film, persoalan adalah bagian hidup kita. Bukan berarti kita mencari persoalan, tapi persoalan harus kita sikapi sebagai tantangan. Akan tetapi persoalan yang menimpaku sekarang ini seolah tak berujung. Menangis sudah bukan suatu yang luar biasa lagi.

Sejak kabar kita bakal sulit shooting di kairo aku jadi tidak bergairah. Tapi kabar film AAC bakal diproduksi sudah beredar. Posisiku sulit. Bersamaan dengan itu film produksi pertama MD yang berbujet besar drop di pasaran. Sebuah film yang dianggap idealis, bahkan tidak mampu menembus angka 100 ribu penonton. Keyakinan producer mulai goyah.

'Apakah kamu masih yakin AAC akan diproduksi?' Kata producer padaku,

'Iya' jawabku yakin. Sekalipun aku sendiri tidak tahu apakah keyakinan itu sekuat dulu.

'Apakah AAC adalah film yang bakal di tonton?' tanyanya kemudian.

Aku lalu ingat pernyataannya tentang 80% penduduk Indonesia adalah muslim. Kemudian aku membalikkan pernyataan itu kepadanya. Jawabnya …

'Ya, tetapi setelah melihat realitas, penonton kita masih belum bisa menerima film-film berat.'

Beberapa detik aku sempet bingung dengan istilah film berat. Aku tahu pada waktu itu kondisi psikologis producerku sedang drop. Tidak hanya satu-dua juta kerugian yang dia tanggung di film pertama. Wajar jika sudah menggoyahkan keyakinannya. Aku berusaha meyakinkan dia lagi kalau AAC adalah film yang ditunggu penonton. Aku juga meyakinkan kalau kita di dukung oleh Muhammadiyah. Tapi alasan itu tidak cukup buat dia. Sebuah dukungan bisa dengan gampang dicabut. Tetapi sebuah produk yang sudah diproduksi tidak bisa diuangkan. Investor tetap menanggung beban besar. Intinya, dia butuh keyakinan kalau AAC adalah film yang bakal ditonton lebih dari 1 juta penonton. Jumlah tersebut diperhitungkan secara bisnis untuk balik modal, mengingat bujet yang dipersiapkan untuk memproduksi AAC duakali lipat bujet standart Film Indonesia . Yah, sekitar 7 Milyar.

Lalu produk seperti apa yang ditonton oleh satu juta penonton?

Pertanyaan itu yang akan merobah karakter Film Ayat-Ayat Cinta yang selanjutkan menjadi persoalanku kemudian.

Pertama yang dilakukan untuk menset-up produk agar ditonton oleh satu juta penonton adalah mengubah scenario menjadi light. Scenariopun dirombak total. Producer sempat menghubungi Musfar Yasin untuk menggantikan Salman Aristo, karena pada saat itu Nagabonar jadi 2 meraih 1,3 juta penonton. Musfar menolak dengan alasan tidak etis. Salman Aristo kemudian bersedia merubah scenario dengan catatan sedikit keluar dari novel. Kita sepakat. Dalam hal ini Kang Abik sedikit kita abaikan dengan maksud segalanya berjalan lancar. Mengingat kang Abik kondisinya waktu itu tidak di Jakarta , sehingga untuk melakukan diskusi scenario harus menghadirkannya dari semarang .

Skenario dibuat dalam 2 minggu. Selama 2 minggu itu kegiatan persiapan menjelang shooting dihentikan. Di minggu ketiga seharusnya kita sudah melakukan shooting, terpaksa dilakukan persiapan lagi. Jadwal akhirnya mundur satu bulan. Keberatan muncul dari para pemain. Sebagian pemain Ayat-Ayat Cinta adalah pemain dengan jadwal ketat. Fedi Nuril sibuk dengan album dan tour Garasi. Ryanti sibuk dengan jadwal MTV, Carissa dan tante Marini sibuk dengan sinteron striping, Melanie putria dan Surya Saputra sibuk dengan presenter. Kalau produksi ini mundur schedule pemain yang akan sulit. Di bulan kedepan para pemain tersebut sudah masuk schedule lain diluar Ayat-Ayat Cinta.

Hal itu membuat Iqbal Rais, asistenku kelabakan mengatur schedule. Dalam 2 minggu itu pekerjaan Iqbal berkali-kali melakukan revisi schedule dan breakdown shooting. Sedangkan Amelia Oktavia (amek) dan Ruth Damai Pakpahan (Iyuth) yang bertugas sebagai casting director me-loby pemain kembali. Itu tidak mudah tentunya. Schedule di luar AAC sudah terlanjur di booking oleh para manajer. Malah beberapa ada yang sudah kontrak.

Seperti yang disepakati bersama, scenario rampung dalam 2 minggu. Tapi bukan berarti persoalan selesai disitu. Tahap berikutnya adalah menentukan dimana shooting dilakukan, mengingat kairo sudah tertutup buat MD. Oh,ya … Hal mendasar yang membuat produksi ini mengalami kendala kreatif adalah producer mulai menekan bujet produksi akibat kerugian di film pertama. Pemindahan shooting di Indonesia dilakukan dengan asumsi bujet produksi tidak semahal di Kairo. Padahal kenyataan di lapangan tidak semudah asumsi itu. Sesuatu yang diciptakan dengan set akan lebih mahal dibanding kita menggunakan set yang sudah jadi. Kalau toh ditemukan rumah yang mirip dengan yang ada di Kairo, perabot didalam rumah itu tidak bisa dipakai.

Menjelang shooting aku dan producer banyak bertengkar soal itu. Pengajuan bujet untuk tata artistic di potong. Begitupun dengan pengajuan lampu. Aku seperti berada dalam ruang isolasi yang semakin lama dinding itu bergerak menghimpit. Pada awal persiapan, konsep film AAC adalah menghadirkan keindahan kota kairo dengan memotret lansekap sebagaimana tertulis di novelnya kang Abik. Kini, terpaksa harus aku persempit mengingat lokasi shooting tidak memadai dan peralatan pendukung dikurangi.

Aku dan Salman Aristo memutuskan memperkuat dramatik cerita daripada keindahan gambar. Oleh sebab itu beban jatuh pada para pemain. Pemain harus mampu secara meyakinkan membawakan karakter yang diperankan. Disini muncul persoalan baru. Sekalipun Amek dan Iyuth berhasil me-loby pemain untuk mundur shooting, tapi tidak bisa dapat waktu untuk latihan. Jangankan untuk melakukan riset dan observasi peran, untuk melakukan reading scenario saja waktunya terbatas. Kepalaku mendadak berat sekali. Hari-hari shooting tinggal beberapa hari, tapi permainan mereka masih jauh dari harapanku. Ya Alloh, selamatkan aku. Selamatkan film ini …

Pernah suatu kali aku minta mundur lagi karena pemain belum siap, terutama Rianti dan Carrisa. Producer tidak memberikan ijin. Aku bingung. Aku melihat Rianti dan Cariisa masih jauh dari harapanku. Pada awalnya tokoh Aisha diperankan Carrisa dan Rianti sebagai Maria. Saat latihan berlangsung, aku merasa keduanya tidak pernah mencapai klimaks. Selalu saja ada yang salah. Kemudian mas Whani Darmawan selaku acting coach (Penata laku) mencoba merobah posisi. Rianti sebagai Aisha dan Carrisa sebagai Maria. Aku melihat ada perubahan ke lebih baik. Mungkin tepatnya: Lebih pas … Tapi aku masih belum yakin dengan itu, dikarenakan banyak persoalan kreatif lain yang menghimpitku. Aku tidak bisa dengan jernih memutuskan. Lalu Aku minta bantuan Salman Aristo untuk ikut memutuskan. Setelah melewati test kamera, aku, Salman Aristo dan Producer bersama-sama melihat dan memutuskan siapa yang pantas menjadi Aisha. Aku ingat waktu itu rapat untuk memutuskan siapa yang pantas menjadi Aisha
dilakukan 10 menit sebelum acara pers conference yang menghadirkan PP Muhammdiyah Din Sayamsudin dan wartawan dari media cetak dan TV. Di ruang lain, Rianti dan Carisa menunggu keputusan itu, karena berhubungan dengan siapa yang akan memakai cadar dan jilbab pada saat acara pers conference. Akhirnya, kami memutuskan Rianti yang menjadi Aisha. Cadarpun terpasang menutup sebagian wajah cantik Rianti

Ketika hari Shooting ditentukan, pemain sudah disiapkan secara schedule, Set sudah dibangun, mendadak ada kabar Ryanti akan di deportasi karena masa tinggalnya sudah habis (Rianti masih menjadi warag Negara Inggris saat ini), sehingga dia harus kabur ke Singapura beberapa hari sambil mengurus perpanjangan masa tinggalnya di Indonesia. Shooting yang sudah kita tentukan harus mundur lagi. Set yang sudah dibangun harus dibongkar. Kepalaku mulai berat. Mataku mulai kabur. Allohu akbar! Apa lagi yang harus aku hadapi? Berapa tetes lagi air mataku kutumpahkan dan berapa lapang lagi dadaku aku rentangkan? Ingin rasanya aku lari dari semua ini. Tapi aku selalu ingat pesan ayahku, wong lanang kui kudu mrantasi … (Lelaki itu harus menyelesaikan segala persoalan).

Aku melihat sisi positif dari kemunduran ini. Aku bisa focus latihan buat pemain. Akhirnya kamipun mundur. Karena set yang sudah dibuat tidak bisa dibongkar, kita terpaksa shooting satu hari tapi setelah itu break seminggu.

Pada saat shooting, aku melihat kairo berdiri di Jakarta dan Semarang . Aku melihat metro yang dibangun bangsa Prancis di stasiun Manggarai. Aku melihat perpustakaan Al Azhar dan ruang Talaqi masjid Al Azhar di Gedung Cipta Niaga Jakarta Kota . Flat Fahri, Flat Maria dan Pasar El Khalili di kota lama dan Gedung Lawang Sewu Semarang. Ruang sidang pengadilan Fahri di Gereja Imanuel Jakarta . Apa yang dibangun Allan, art directorku, berhasil meski dengan berbagai kendala keuangan yang tidak lancar. Untuk membangun set dan menyediakan property, Allan sering mengeluarkan uang pribadinya untuk menutup aliran uang yang tidak lancar. Gajinya yang seharusnya di bagi-bagikan kepada krunya, habis buat belanja property dan membangun set. Karenanya banyak krunya pada marah-marah dan kabur.

Pada saat shooting berlangsung, tidak begitu saja mulus dan on schedule. Hari-hari pertama kami berhasil menghadirkan suasana kairo dengan menyewa orang-orang arab sebagai extras. Karena shooting selalu selesai tengah malam, orang-orang arab lama-lama tidak mau diajak shooting lagi. Maklumlah, mereka bukan berprofesi sebagai pemain. Kebanyakan dari mereka pedagang, mahasiswa, karyawan bahkan ada yang dokter. Suatu kali pernah si dokter marah-marah karena shooting sampai malam, padahal sebagai dokter dia tidak pernah berpraktek sampai malam. Di hari-hari menjelang akhir shooting AAC, bahkan untuk mengajak gembel Arab pasar Tanah Abang pun tidak bisa. Masya Alloh!!

Di Kota lama dan Lawang sewu Semarang, kami menghadapi persoalan kamera terbakar, hujan, berhadapan dengan preman Kota Lama, ruang sempit dan lapuk karena tua yang membuat set lampu lama. Dengan begitu scene yang seharusnya diambil jadi banyak terhutang. Untuk membayarnya, kita menunggu jadwal pemain kosong, Amek dan Iyuth kembali me-loby, iqbal rais kembali membongkar break down. Hal itu terus menerus mereka lakukan sampai-sampai Amek dan Iyuth kehilangan muka di hadapan manajer dan pemain. Tidak jarang aku melakukan improvisasi demi efisiensi. Banyak adegan aku sederhanakan. bahkan dibuang. Tapi aku cukup senang karena aku bisa merobah salah satu sudut kota lama semarang menjadi pasar di El-Giza. Aku menghadirkan unta dari Kebun Binatang Gembiraloka Jogjakarta. Penduduk kota lama Semarang dibikin heboh dengan munculnya unta secara tiba-tiba di sana .

Shooting paling berat yang aku rasakan pada saat adegan sidang Fahri. Aku memilih gereja Imanuel Jakarta untuk di set sebagai ruang pengadilan. Aku menghadirkan lebih dari 300 ekstrass. Semua pemain utama kumpul jadi satu. Penata kostum, penata make up kewalahan menghadapi banyaknya pemain. Ini salah satu scene dengan jumlah pemain paling banyak. Aku melihat hal yang unik di sana . Banyak pemain memakai Jilbab bahkan bercadar, tapi mereka berada di dalam gereja. Tanda salib bertebaran di atas kepala mereka. Suatu yang lucu dan menarik aku lihat. Lalu aku ingat, pada saat aku masuk masjid Al Azhar, bahkan untuk ijin memotret saja tidak mudah. Apalagi shooting. Tapi di gereja Imanuel ini, aku tidak hanya membawa kamera dan lighting. Aku bahkan memasukkan teralis penjara sebesar 3 meter persegi didalamnya. Aku tertawa kalau memikirkan itu …

Tidak terasa, persoalan sudah menjadi bagian dari produksi ini. Malah, ketika persoalan tidak muncul aku merasa ada yang aneh. Terlepas dari semua itu, aku senang bisa terlibat dalam persoalan. Terlebih lagi, persoalan itu bisa terpecahkan sekalipun dengan air mata. Semoga kedepan, aku bisa lebih dewasa.

Robbana afrigh alaina shabran wa tsabit aghda mana fanshurnaa ala qaumil kafiriin ...

( ...Ya Alloh, limpahkan kami kesabaran. tegakkanlah kaki kami kembali. Lindungilah kami

atas orang-orang yang membenci kami ...)



Hingga shooting ini selesai, kami masih berhadapan dengan puluhan persoalan lagi. Nantikan di bagian IV (AAC hijrah ke India untuk menghadirkan Sungai Nil, Padang Pasir dan kota ) ...




Selengkapnya.....

Kisah dibalik Produksi Film Ayat-Ayat Cinta (part2)

Kairo adalah kota dimana manusia-manusia Fahri, Aisha, Maria, Noura, Nurul, dan segudang manusia-manusia ciptaan Kang Abik bertebaran, hidup, saling bicara dan saling mencinta. Kairo sangat indah kata kang Abik. Sudut-sudut pasar El Khalili, jalanan di Down Town, Menara-menara masjid termasuk didalamnya Masjid Al Azhar dan University of Azhar Cairo .

Sangat detil kang Abik menggambarkan itu dalam novelnya, yang membuat aku tertantang untuk mewujudkan dalam gambar: Bangunan-bangunan tua peninggalan 3 Dinasti (Firaun, kesultanan dan Penjajah Perancis), Kios-kios berdempetan berhadapan dengan trotoar-trotoar sempit yang penuh dengan pejalan kaki, terkadang diisi kursi-kursi rotan café pinggir jalan yang meletakkan seorang tua sedang menyedot shisa. Lalu 5 jam dari tempat itu, menuju matahari terbit, kita melihat kampung tua El Giza dengan aroma kotoran unta yang … hmmm, sekilas menjijikkan, tetapi … tertutup oleh eksotisnya lingkungan khas kairo. Bangunan itu berdiri dari tumpukan bata-bata merah yang dipoles campuran semen dan pasir. Menjadikan warna coklat muda dominan, berpadu selaras dengan warna tanah, warna kain-kain yang dipakai membalut tubuh gadis-gadis kairo, dan warna kulit unta. Bangunan itu ada banyak. Bertebaran. Saling berdiri begitu saja. Tidak begitu rapi seperti bangunan-bangunan kuno di Itali atau
paris , tapi sangat menarik bagiku. Apalagi dengan latar belakang sepasang pyramid yang gagah menjulang menyentuh langit.

Kairo … ah, Kairo. Di kota ini aku akan meletakkan kamera, melukis dengan cahaya, membangun set dan meletakkan pemain-pemain didalamnya. Pemain Indonesia yang bergaya selayaknya orang kairo asli.

Aku datang bersama tim kecil, menjalin kerjasama dengan local production house, Egypt Production. Mereka sangat senang menyambut kedatangan kami. Kata mereka, tidak mudah membuat film di kairo. Skenario film harus dapat ijin dari sensor film. Tidak seperti di Indonesia . Bisa dengan gampang membuat film apa aja. Karena waktu yang kita punya sangat sempit, ijin yang seharusnya 3 bulan, bisa diurus dalam 2 minggu oleh seorang local producer bernama Tammer Abbas; seorang muslim kairo, cerdas, berpengalaman di bidang film dan kharismatis. Tammer mem-provide apa yang kita butuhkan: Hunting Lokasi, akomodasi dan transportasi hingga penyewaan alat. Di benankku, sedemikian jelas tergambar film ini akan sedetil seperti yang kang abik tuliskan di novel.

Setelah riset selesai dan scenario jadi, 20 tim dari Jakarta datang untuk melakukan hunting lokasi sekaligus test kamera. Kami melakukan shooting di sebuah tempat di El Giza . Alat-alat yang di sediakan buat kami jauh lebih bagus dari yang sering kita pakai di Indonesia . Kami sangat di support disana. Kami melakukan persiapan di kairo selama 2 minggu. Tammer akan mensupport semua shooting di Kairo berikut kostum, lokasi, crew dan pemain pendukung. Film ini benar-benar akan menjadi film Indonesia yang shooting total di Luar Negeri. Baru pertama kali terjadi dalam sejarah perkembangan film nasional. Bisa dibayangkan, bagaimana perasaanku waktu itu. Ibu, aku akan persembahkan yang terbaik buatmu … sebuah film agama yang indah dan bersahaja. Yang akan kau kenang … dan semua umat muslim Indonesia dan dunia tentunya …

`Mendadak semua berhenti begitu saja. Impian itu kandas. Producer membatalkan shooting di Kairo dengan alasan bujet produksi yang ditawarkan Egypt Production tidak masuk akal. Tammer Abbas menawarkan angka 3 kali lipat produksi standart Film Indonesia . 1 Film AAC di produksi sama saja memproduksi 3 film layar lebar di Jakarta . Siapapun producer di negeri ini akan berfikiran sama: Membatalkan produksi Film.

Seakan runtuh bangunan mimpi yang sudah aku bangun. Satu persatu menimpaku. Tapi producerku tidak begitu saja berniat membatalkan produksi film ini. 'Kita sudah terlanjur berjanji dengan banyak orang.' Katanya …

Bersama-sama kita mulai memikirkan bagaimana AAC bisa diproduksi sesuai dengan apa yang kita inginkan. Kemudian kita mencari sponsor untuk bisa tetap shooting di Kairo. Kita menjalin kerjasama dengan The Embassy of Egypt di Jakarta. Lewat hubungan baik dengan ketua PP Muhammadiyah Din Syamsudin, mereka setuju dengan tawaran ini. Kata Dubesnya, Film ini akan dikelola oleh dua Negara: Indonesia dan Mesir. Sebelum di putar di bioskop, film ini harus diputar dihadapan presiden Negara-Negara Islam di Asia dan Timur Tengah, begitu kata Dubes. Betapa senangnya aku mendengar kabar ini. Impianku bangkit. Ku kabarkan berita ini ke teman-teman crew dan pemain. Mereka kembali semangat. Akhirnya dibuatkan kesepakatan antara dua Negara melalui Dubes Mesir, DepBudPar, PP Muhammadiyah. Bersama-sama kita melakukan pers conference, mengabarkan berita gembira ini ke masyarakat.

Namun lagi-lagi semua itu tidak ada artinya. Pemerintah mesir, sekalipun memberikan dukungan buat kerjasama ini, tidak bisa melakukan intervensi terhadap harga-harga termasuk di dalamnya Equiptment, lokasi, property. Itu adalah hak perusahaan swasta. Artinya, sekalipun di dukung pemerintah, tetap tidak bisa mempengaruhi harga. Harapan shooting di Kairo akhirnya kandas. Terlebih lagi pihak Egypt Production tiba-tiba mengirimkan tagihan atas hunting, pelayanan persiapan dan test kamera selama di kairo sebesar 500 juta rupiah. Angka yang tidak masuk akal buat producer untuk harga test kamera dan hunting. Biasanya di Jakarta kami melakukan hunting sekitar 5 juta sampai 10 juta. Test kamera gratis kita lakukan karena itu salah satu fasilitas perusahaan penyewaan alat.

Akhirnya producer tidak mau membayarnya. Terjadilah perselisihan antara keduanya. Pihak Egypt Production melayangkan surat gugatan ke pihak KBRI di Kairo. Pihak KBRI kairo mengirimkan surat ke Departemen Luar Negeri Indonesia dan Departemen Kebudayaan dan Pariwisata yang isinya terjadi penipuan pihak MD kepada perusahaan Kairo. Berita ini membuat Deplu dan Depbudpar menarik kembali dukungannya. Begitu juga dengan pihak Dubes Mesir. Seperti sebuah drama tragedy saja, nasib produksi Ayat-Ayat cinta tidak terselamatkan.

Terbayang olehku bangunan-bangunan bersejarah, menara-menara masjid Azhar yang tinggi menjulang, kios-kios berjajar, pasar-pasar tradisional, pyramid, guran sahara, pantai Alexandria yang indah … hilang … hilang ditelan angin begitu saja. Lalu pesan ibu terngiang : … Kalau kamu sudah bisa membuat film, buatlah film agama …

Ana aasif … ya ummi …


Selengkapnya.....

Kisah dibalik Produksi Film Ayat-Ayat Cinta (part1)


Cerita dibawah ini berdasarkan atas pengalaman pribadi hanung bramantyo mulai dari awal ide pembuatan film AAC s/d selesainya proses shooting.
saya posting dari milis tetangga...


Oleh Hanung Bramantyo:

KISAH DI BALIK PRODUKSI AYAT-AYAT CINTA (bag.1)

Aku mulai sadar bahwa tidak mudah membuat film agama. Itulah kenapa ibuku dulu berpesan kalau kamu sudah bisa membuat film, buatlah film tentang agamamu: Islam. Awalnya aku cuma tersenyum mendengar kata-kata ibuku. Senyum yang menyangsikan. Sebab pada waktu itu buatku film agama tidak lebih dari sekedar petuah-petuah yang membosankan. Lelaki berpeci dengan baju koko, bertasbih, kadang berewokan, mulutnya nerocos soal ayat dengan cara menghadap kamera. Membuat dirinya tampak suci dengan mengumbar ayat-ayat Quran. Ah, tidak terbayang olehku sebuah film agama.
Aku terjun membuat film Cinta: Brownies, Catatan Akhir Sekolah, Jomblo, dsb ... dsb ... Tapi aku tetap yakin bahwa suatu saat akan datang masa aku membuat film tentang agama.
Alhamdulillah, benar. MD Entertainment menawari membuat Film Ayat-Ayat Cinta (AAC).
'Kenapa anda membuat film ini?' Tanyaku
'Sederhana. Pertama, Ini film dari Novel best seller. Kedua, penduduk indonesia 80 persen muslim. Kenapa saya tidak membuat film tentang mereka? Kalau saya minta 1 persen dari 80 persen masak tidak bisa.'
1% dari 80% penduduk muslim Indonesia berarti sekitar 2 juta penonton. dikalikan 10 ribu per tiket. Berarti pendapatan kotor 20 milyar. Kalau bujet produksinya 10 milyar, keuntungan yang didapat 10 milyar.
Lalu aku mulai memasuki tahap persiapan dan riset.
Wallohu ... Aku melihat islam dari dekat sekali. Sangat dekat. Di Kairo, aku menatap Menara Azhar, aku menyentuh dinding dan lantai Azhar university, aku mencium bau apek baju-baju dan karpet mahasiswa Alzhar tetapi memiliki roman muka bersih dan santun. Aku melihat keikhlasan mereka saat bersujud diatas sajadah buluk. Bibir mereka pecah-pecah oleh panas sekaligus dingin hawa Kairo, tetapi dibalik bibir pecah itu terlantun dzikir panjang menyebut: Alloh ... Alloh ...
Lalu aku melihat seorang syaih duduk bersila dihadapan murid-muridnya. 'Tallaqi' mereka menyebutnya. Aku mendengar seorang melantunkan ayat-ayat Al quran di sudut masjid. Dan juga di pinggiran jalan. Seolah quran bagaikan bacaan novel. Allohu Akbar ... Allohu Akbar. Inikah caramu membuatku dekat dengan agamaku, Ibu?
Darahku menggelora membuat mataku terbelalak. Islam sangat indah. Islam sangat eksotis. Tapi orang-orang islam seperti tidak mengerti semua itu. Orang-orang Islam di Jakarta lebih memilih jalan-jalan ke eropa daripada ke Kairo.
'Saya akan membuat film ini eksotis, pak' begitu kata saya ke producer.
Dan mulailah persiapan dimulai. Semangatku menggelora. Aku baca buku-buku tentang Fiqih dan sunnah. Aku libatkan mahasiswa Al Azhar untuk mendampingiku. Aku sangat hati-hati sekali melakukan ini agar apa yang tertulis dalam novel dengan indah pula tersampaikan lewat gambar. Sebuah film yang lembut, yang indah, yang suci tergambar di depan mataku dan aku yakin sekali bisa mewujudkannya.
Namun semua impianku itu tidak begitu saja mudah diwujudkan.
Pertama kali berita tentang pembuatan film AAC tersebar, halangan pertama datang justru dari pembaca. Diantara banyak yang berharap, mereka juga menyangsikan, sinis, dan mencemooh. Bahkan ada yang bilang : 'Wah, sayang sekali novel sebagus ini akan difilmkan. Jadi ill Feel, deh'. ada juga yang bilang 'Tidak pernah aku lihat Novel yang di filmkan hasilnya bagus, sekalipun Harry Potter. Apalagi ini.'
Kami tahu bahwa film ini harus dibuat dengan hati-hati sekali. Kami juga tidak begitu saja memilih pemain hanya semata-mata ganteng dan 'menjual'. Karena itu kami menggandeng ketua PP Muhammadiyah Din Syamsudin sebagai penasehat kami.
Sebelum aku melakukan casting, aku berdiskusi dulu dengan kang Abik. Kang abik sangat concern dengan sosok Fahri. Dia harus turut serta memilih tokoh Fahri. Semula kami membuka casting di pesantren-pesantren . Tetapi hasilnya Nol. Bukan berarti para santri tidak ada yang ganteng dan pintar seperti fahri. Tetapi banyak diantara mereka sudah menganggap 'Film' adalah produk sekuler. Oleh sebab itu banyak diantara mereka tidak mau ikut casting. Saya pernah membaca satu hadist, jangankan membuat film, menggambar manusia saja hukumnya Haram. Nanti di Neraka hasil gambar yang kita buat harus kita hidupkan. Kalau tidak bisa, Malaikat Jibril akan mencambuk kita dengan cambuk api.
Kami melakukan casting lebih dari 5 bulan. Semua yang ikut casting adalah pemain-pemain terkenal. Tapi diantara mereka banyak terjebak pada tuntutan atas 'Kesucian Fahri'. Lalu ditengah keputusasaan kami datang seorang lelaki. Ganteng, tetapi tidak sombong (tidak merasa dirinya ganteng). Sering kita lihat di Mal-Mal, banyak lelaki pesolek, sadar sekali bahwa dirinya ganteng. Tetapi lelaki ini tidak . Dia sangat santun. Bahasanya pun santun. Ketika berucap Alloh, dia agak-agak canggung. Bahkan tidak fasih seperti ustadz. Pada saat dia sholat aku melihat gerakannya jauh dari sempurna. Tetapi lelaki itu punya mata yang didalamnya mengandung semangat belajar. Dia adalah Fedi Nuril. Aku berdiskusi dengan kang Abik. Terjadi tarik ulur dan perdebatan panjang. Akhirnya kita sepakat memutuskan dia yang main sebagai Fahri. Alasanku adalah, Fahri bukan lelaki sempurna. Tapi yang membuat Fahri tampak sempurna karena dia sadar bahwa dirinya tidak sempurna. Keputusan Fedi Nuril
sebagai Fahripun mengundang banyak kesangsian di kalangan pembaca fanatik AAC, terutama di Malaysia . Karena film Fedi Nuril sebelumnya menampilkan Fedi ciuman dengan perempuan bukan muhrim. Fedi pun mengakui itu. Yang membuat aku terharu, Fedi menganggap film AAC sebagai media dia buat dekat dengan Islam. Belajar kembali tentang Islam. Karena film ini, Fedi jadi rajin membuka-buka lagi buku tentang Islam. Bahkan Fedi menyadari segala tingkah lakunya yang tidak Islami selama ini setelah memerankan Fahri. Sungguh, baru kali ini aku rasakan dampak film yang begitu besar mempengaruhi keimanan seseorang. Terima kasih kang abik. terima kasih Ibu.

Pada saat kami mencari sosok Aisha dan Maria, semula kami bersepakat untuk mencari pemain Mesir. Tetapi setelah kami melakukan riset disana, sangat mengagetkan. Perempuan-perempuan Mesir lebih tua dari umurnya. Aku mengcasting seorang perempuan mesir bernama Roughda untuk berperan sebagai Aisha. Tidak hanya cantik, tetapi mainnya luar biasa. Tetapi setelah di sejajarkan dengan Fahri, terlihat Roughda lebih pas sebagai kakaknya daripada isteri Fahri. Padahal umurnya lebih muda 3 tahun dari Fedi Nuril. Lalu kami mencari pemain dengan umur 8 tahun lebih muda dari Fedi. Pada saat kami sejajarkan, sangat pas. Tetapi disaat dia berdialog tentang perkawinan, tidak bisa dipungkiri 'kedewasaannya' tidak tampak. Alias belum matang. Kami bingung dan akhirnya kami sepakat untuk mencari pemain indonesia saja.
Tidak gampang mencari pemain indonesia yang cantik sekaligus solihah. Pak Din Syamsudin berpesan kalau bisa pemain Aisha kesehariannya ber jilbab. Lihatlah siapa artis kita yang bertampang Bule yang seperti itu. Hanya Zaskia Meca saja yang berjilbab dan cantik. Selebihnya tidak ada. Sementara itu Zascia tidak bertampang bule. Dia sangat sunda. Pernah kita meng casting Nadine Candrawinata. Dia sangat cantik dan bermain bagus. Dangat cocok pula berdampingan dengan Fedi Nuril. Tapi Nadine bukan Muslim. Padahal Nadine sudah mau bermain sebagai perempuan Muslim. Aku pernah berdiskusi panjang dengan kang abik soal itu. Aku bilang padanya ...
'Suatu hal yang unik, ketika tokoh Maria yang kristen dimainkan oleh seorang muslim, sementara tokoh Aisha yang Islam dimainkan seorang kristen. Ini akan memperlihatkan sikap toleransi dan demokratisasi dalam Islam seperti di India .'
Tetapi kang abik dan pak Din Syamsudin menyarankan untuk jangan bertaruh terlalu besar di film ini. Masyarakat Islam di Indonesia berbeda dengan India . Di India, masyarakat moslem dan Non Moslem sudah terdidik tingkat kedewasaan dalam toleransi, sementara di Indonesia belum. Akhirnya dipilihlah Ryanti sebagai Aisha dan Carrisa Putri sebagai Maria.
Ketiga pemain itu dikursuskan bahasa arab secara privat untuk mendalami kehidupan Muslim di kairo. Mereka sangat antusias. Namun antusiasme itu harus berhadapan dengan kenyataan bahwa mereka juga punya kesibukan lainnya. Ryanti sebagai VJ di MTV dan Carrisa bermain sinetron. Ryanti yang bagiku sangat keteter ketika berperan sebagai Aisha. Asiha adalah sosok yang memiliki beban berat. Sementara Ryanti sebagai VJ MTV harus selalu tampak riang dan ringan. Sering sekali benturan itu membuat proses pendalaman karakter tidak sempurna. Aku frustasi sendiri. Tetapi aku ingat, bahwa di Film ini kesabaranku benar-benar di uji. Impianku mewujudkan keindahan dan kedalaman Islam terbentur oleh kenyataan sebaliknya: Ringan, Riang, Hedonistik dan Pop. Apalagi ketika producer tiba-tiba berubah pikiran melihat kenyataan penonton Film Indonesia banyak di dominasi anak-anak muda yang pop, ringan dan tidak menyukai hal-hal bersifat perenungan. Dia lantas ingin mengubah karakterr film AAC
menjadi sangat pop seperti Kuch Kuch Hotahai ... Tuhanku! Tuhanku! selamatkan film ini ...
Tidak jarang aku berperang mulut dengan producerku ketika meminta adegan Talaqi dibuang. Karena boring dan membuat penonton mengantuk. Lalu beberapa adegan yang bersifat perenungan, seperti pada saat Fahri dipenjara dan menemukan hakikat kesabaran dan keikhlasan dari seorang penghuni penjara yang absurd (dalam novel digambarkan sebagai seorang professor agama bernama Abdul Rauf), Tetapi di Film saya adaptasi sebagai sosok imajinatif, bergaya liar, bermuka buruk tetapi memiliki hati bersih dan suara yang sangat tajam melafatskan kebenaran. Semua adegan itu diminta untuk dibuang atau dikurangi dan lebih mementingkan adegan romans seperti AADC ataupun Kuch Kuch Hotahai ...
Sabar ... Sabar ... Ikhlas ... ikhlas!!!
begitulah yang aku dapatkan di film ini. Film ini tidak hanya mampu merobah pandanganku tentang Film. Film ini mampu dan sudah merobah pandangan hidupku: tentang agama, kesetiaan, kerjakeras, komitmen, dan ... cinta. Berkali-kali aku berucap syukur yang besar kepada Tuhanku yang sudah memberikan aku jalan menuju kedewasaan. Berkali-kali aku berucap terima kasih kepada Kang Abik yang sudah secara tak langsung mempercayaiku menyutradarai film ini, dimana telah membuatku kembali merasa dekat dengan Islam yang indah, bersahaja dan penuh dengan toleransi. Dan terakhir, berkali-kali aku berucap syukur kepada Ibuku yang telah berpesan untuk membuat film tentang agama. Sekarang aku mengerti, kenapa Kau berpesan begitu Ibu. Tidak lain hanyalah untuk membuatku selalu dekat dengan Islam ...
La haula wa kuwwata illa billahi ...

Selengkapnya.....

Senin, Maret 03, 2008

Film Ayat-Ayat Cinta, Kontoversial atau Tidak


Setelah peluncuran novel Ayat-Ayat cinta lebih dari satu tahun yang lalu, ternyata pembuatan filmnya pun menarik perhatian dan kontroversi dikalangan masyarakat muslim. Bahkan dari proses pembuatan dan penayangannya pun tidak luput dari permasalahan. Ada beberapa orang yang tidak setuju dengan pembuatan film ini, seperti di dalam satu buah blog, tetapi banyak juga kalangan yang setuju.

Film Islam selalu kontroversial
Setiap kali ada film yang mengangkat tema Islam atau dakwah, biasanya memang selalu diiringi dengan kontroversi di kalangan umat Islam sendiri. Kontroversi itu bisa dilatar-belakangi karena cara pandang umat Islam memang berbeda-beda tentang hukum dan manfaat film untuk dakwah, namun terkadang 'kesalahan' memang terletak dari si pembuat film. Untuk kasus kontroversi hukum film dalam pandangan agama ISlam, contoh kasusnya adalah film The Message karya Mustafa Aqqad. Perdebatan terjadi antara kalangan sufi dan bukan sufi.
Kalangan 'sufi' (suka film) dari umat Islam memandang film ini bagus dan fenomenal dan layak dijadikan film dakwah yang ideal. Sebaliknya, kalangan bukan 'sufi' yaitu kalangan 'tifi' alias anti film, karena sejak awal memang tidak suka film, tetap saja mereka tidak suka. Meski sudah sangat menggambarkan bagaimana hebatnya perjuangan umat Islam. Dan mereka tidak pernah kehabisan akal untuk mencacat sebuah film yang digelari film dakwah. Dan itulah yang menyebabkan film The Message gagal shuting di Maroko lalu pindah ke Libya. Konon para ulama di negeri Maroko berdemo dan berfatwa bahwa haram hukumnya memfilmkan nabi Muhammad SAW dan para shahabatnya. Fatwa itu konon menyebar di dunia Islam, sehingga menurut cerita dari para pengamat film, penjualan film itu di Timur Tengah malah anjlok alias rugi.
Sebaliknya, di Barat tempat film itu diproduksi, konon cukup fenomenal baik dari segi penjualan dan juga penyebaran dakwah. Sosok Muhammad SAW yang selama ini dilecehkan, perlahan-lahan dapat dikembalikan dan ditempatkan sesuai posisinya. Kesimpulan sederhananya, orang Arab (Timur Tengah) adalah anti film, jadi percuma berdakwah kepada mereka dengan menggunakan film. Belum apa-apa mereka sudah bikin fatwa sesat dan haram, tanpa pernah melihat filmnya. Pokoknya masuk bioskop saja sudah haram, biarpun filmnya dari awal hingga akhir isinya hanya kumpulan rekaman ceramah. Mulai dari antri tiket, sampai urusan campur baur laki-laki dan perempuan di dalam ruang theater, sampai pemain filmnya ada yang perempuan dan seterusnya, semua akan dijadikan dasar keharaman sebuah film dan bioskop. Dan itu buat mereka adalah harga mati.

Kalangan Suka Film
Sebaliknya, buat umat Islam yang pada dasarnya sudah suka film, kecenderungan mereka selalu memandang positif bila ada film yang sedikit saja agak tidak terlalu hedonis. Bahkan meski sama sekali bukan film dakwah atau agama. Film-film yang bersifat humanis, penegakan keadilan, atau yang berlatar belakang sejarah, cinta yang murni dan sejenisnya, mereka masukkan ke dalam daftar film layak tonton. Apalagi bila film itu sudah bicara tentang agama Islam, atau pelajar Indonesia yang kuliah di Cairo, tentu buat mereka sudah lebih dari cukup layak untuk ditonton. Dan hujjah mereka pun sudah sering kita dengar. Misalnya, mereka mengatakan bahwa yang perlu mendapat siraman dakwah itu bukan hanya jamaah masjid saja, tapi mereka yang tiap hari kerjanya nonton film, kalau dibuatkan film yang lain dari biasanya, akan tetap bermanfaat bagi mereka.
Setidaknya film yang agak kental mengangkat masalah agama seperti itu, untuk kapasitas dunia film yang selama ini melulu hedonis dan materialis, bahkan cenderung pornografis, maka harus ditanggapi positif, bukan malah dicela atau dimaki. Juga jangan dibilang lebih berbahaya dari film porno. Buat mereka, cara pandang seperti ini adalah cara pandang pesimistis, bahkan cenderung nihilis. Tidak berpihak kepada realita bahwa sebagian besar masyarakat itu sufi, alias suka (nonton) film. Mengharamkan film sama saja mengharamkan televisi. Tapi mereka yang mengharamkan televisi tetap saja tidak mendirikan sendiri sebuah stasiun televisi tandingan yang ideal sesuai dengan selera mereka. Jadi masih terbatas baru bisa mengharamkan, tanpa bisa memberikan solusi.

Kekurangan Pembuat Film
Pembuatan film bertema dakwah memang agak unik dan bikin pusing, apalagi kalau film itu dikerjakan oleh mereka yang kurang banyak berkecimpung di dunia dakwah. Boleh jadi dakwahnya malah menjadi sekedar pemanis, atau orang bilang 'manis-manis jambu'. Atau yang paling apes, dakwahnya malah kalah dengan masalah lainnya, seperti masalah cinta dan seterusnya. Film-film Rhoma Irama misalnya, seringkali terkotori dengan tema cinta agak vulgar, meski kemudian agak lebih dikoreksi. Tapi di awal-awal produksinya, film-film itu malah menggambarkan pacaran, berduaan, berpelukan lain jenis yang bukan mahram, walau pun bintangnya fasih mengutip ayat-ayat Quran. Ini kan malah jadi kontradiksi dan sangat mengganggu, setidaknya buat mereka yang sudah punya wawasan agama lebih dalam. Mungkin akan lain ceritanya kalau film itu digarap oleh tokoh sekelas Deddy Mizwar yang memang konsern terhadap dunia dakwah. Meski tidak sepi dari kritik, namun beberapa film besutan pak haji ini banyak yang memujinya.

Ayat ayat Cinta Tidak Islami?
Orang yang pernah baca novel karya Habiburrahman ini, lalu nonton filmnya, akan berkomentar bahwa film itu tidak Islami. Lho kok tidak Islami? Wah, jangan tanya saya, tapi tanya saja kepada yang bilang ungkapan itu. Dan yang bilang begitu bukan siapa-siapa, tapi sutradaranya sendiri, si Hanung. Jadi sejak awal si sutradara sudah mengaku bahwa filmnya ini tidak Islami. Jadi itu saja sudah cukup untuk dijadikan sebuah penilaian, tanpa harus diskusi panjang-panjang. Lha wong yang bikin film itu saja sudah bilang bahwa filmnya tidak Islami. Masak kita mau paksa bilang bahwa itu adalah film Islami? Begitu banyak memang reduksi dari novel yang sarat isitlah syariah, ketika jadi film malah hilang begitu saja, dibuang oleh pembuat film. Sehingga begitu banyak pesan agama malah raib, berganti dengan adegan konyol, aneh dan memang tidak Islami. Dan itu sejak awal sudah diakui oleh si pembuat film.
Kita tidak tahu apa reaksi akhinal fadhil Habiburrahman tentang film ini. Silahkan tanya beliau. Tapi memang sangat beda antara apa yang ditulis oleh seorang lulusan Al-Azhar dalam novelnya dengan hasil besutan orang film yang bukan lulusan fakultas syariah. Nuansa dan touch-nya beda banget.

Terlambat Tayang Karena Dianggap Mempengaruhi Keimanan Agama Lain
Yang menarik dari berita tentang kenapa film ini terlambat ditayangkan, konon ada ganjalan di LSF. Lembaga ini mengatakan bahwa film ini dikhawatirkan akan mempengaruhi keyakinan agama lain, karena ada tokohnya yang beragama kristen tapi suka dengan Al-Quran. Malahan masuk Islam karena terpesona dengan sosok seorang laki-laki muslim. Dan rasanya titik ini menarik untuk dikaji, penulis novel memang ingin menggambarkan hubungan yang harmonis antara muslim dan kristen, di mana pada hakikatnya keduanya memang sangat dekat. Bahkan wanita kristen memang halal dinikahi oleh laki-laki muslim. Demikian juga dengan sembelihannya. Aneh juga memang, biasanya LFS meloloskan semua materi film yang melecehkan agama, seperti pornografi, pelecehan seksual, kekerasan sampai lesibianisme dan homoseksual. Tapi giliran ada film yang mengangkat masalah agama Islam, tiba-tiba bisa gagah untuk menghalangi. Kira-kira ada apa ya dengan lembaga yang satu ini, sehingga bisa kayak Amerika yang punya standar ganda?

Lokasi Mesir
Lepas dari kontroversi apakah film ini Islami atau tidak Islami, tapi sebagai orang yang pernah ke Mesir dan bahkan lahir di Mesir, film ini menurut hemat kami kurang bisa menampilkan setting kejadian yang sebagian besar di Mesir. Ketika baca novelnya, suasana Mesir, orang-orang, kebudayaan dan kebiasaan mereka sangat kental. Wajar, karena Habiburrahman kuliah di sana beberapa tahun. Tapi ketika divisualisasikan, mulai dari yang bikin film, yang main, bahkan para team kreatifnya, mungkin malah belum pernah tinggal di Mesir. Jadi kalau kesan 'bukan Mesir' nya terlalu menonjol, sejak awal memang sudah bisa ditebak. India dan Mesir kan tetap berbeda, biar bagaimana pun juga.
Ketika dahulu produksi film itu belum memutuskan siapa yang jadi sutradara, mas Chaerul Umam pernah bilang bahwa beliau sempat ditawarkan untuk menggarapnya. Lalu ada yang mengatakan kepada beliau, "Mas, kalau memang jadi membuat film itu, mbok sampeyan 'nyantri' dulu di Mesir barang tiga bulan, biar bisa tahu persis bagaimana khas kehidupan di sana." Dan permintaan itu sudah dijadikan syarat oleh penulis novelnya, agar lokasi syuting harus di Mesir betulan. Namun sayangnya, sutradara film itu, Hanung, katanya 'diperas' oleh PH di Mesir, sehingga cita-cita mengangkat suasana kota Cairo dalam film ini jadi gatot alias gagal total. Walhasil, dari sudut pandang ini, film itu kurang mengangkat ke-Mesiran-nya, Tapi apa itu penting buat penonton di negeri ini?
Wallahu a'lam bishsawab

sumber:Ust.Ahmad Sarwat, eramuslim.com

Selengkapnya.....

Sabtu, Maret 01, 2008

PCMAV 1.0 Final Release

Ini adalah PCMedia Antivirus (PCMAV) seri 1.0 yang terakhir, sebelum PCMedia merilis PCMAV seri 2.0
untuk mendownload, klik aja:
PCMAV Final Release
Build 1:Virus Pray
Build 2:Vir.VBS Generator
Build 3:Sang Perawan

Selengkapnya.....