Minggu, November 11, 2007

Khidhr ...oh....Khidhr

Masih hidupkah Khidhr ? Entahlah, saya memang mendengar cerita seorang 'alim yang mengaku berjumpa Khidhr. Nama Khidhr memang sudah terlanjur melegenda, meskipun al-Qur'an sendiri tidak pernah menyebut nama Khidhr secara terang-terangan. Al-Qur'an melukiskan Khidhr dengan "...seorang hamba di antara hamba-hamba Kami, yang telah Kami berikan kepadanya rahmat dari sisi Kami, dan yang telah Kami ajarkan kepadanya ilmu dari sisi Kami." (QS 18:65)

Perhatikan redaksi yang digunakan al-Qur'an. Ternyata, Khidhr atau apapun nama beliau hanyalah satu dari sekian banyak hamba Allah yang telah diberi rahmat dan ilmu. Boleh jadi banyak sekali hamba Allah yang punya kelebihan seperti Khidhr, tetapi Allah tidak beritakan kepada kita atau kita memang tidak mengetahuinya. Tapi itulah Khidhr, sebuah nama yang terlanjur melegenda dan menyimpan misteri yang tak kunjung habis dibicarakan.

Dalam surat al-Kahfi diceritakan bagaimana Nabi Musa ingin berguru dengan Khidhr. Khidhr semula menolak, namun Musa terus mendesak. Perhatikan redaksi al-Qur'an ketika mengutip penolakan Khidhr, "Sesungguhnya kamu sekali-kali tidak akan sanggup sabar bersamaku. Dan bagaimana kamu dapat sabar atas sesuatu yang kamu belum mempunyai pengetahuan yang cukup tentang hal itu?" (QS 18:67-68)

Khidhr menolak Musa bukan dengan argumen bahwa Musa itu bodoh atau malas. Khidhr menolak Musa karena Musa tidak akan bisa bersikap sabar. Soalnya, kata Khidhr, bagaimana kamu bisa sabar pada persoalan yang kamu tidak punya ilmu tentangnya?

Begitulah yang terjadi. Musa selalu memprotes dan menyalah-nyalahkan perbuatan Khidhr yang, dipandang dari sudut pengetahuan Musa, merupakan perbuatan yang keliru.

Sayang, kita jarang mau belajar dari kisah Khidhr dan Musa ini. Seringkali kita sebar kata "sesat", "kafir", "menyimpang", "bid'ah" kepada saudara-saudara kita, yang dipandang dari sudut pengetahuan yang kita miliki, melakukan kesalahan besar.

Kita menjadi emosional, kita menjadi tidak sabar. Pada saat itu, ada baiknya kita ingat kembali kisah Khidhr dan Musa. Kisah Khidhr mengajarkan kepada kita bahwa kesabaran merupakan lambang tingginya pengetahuan.


Nadirsyah Hosen

Selengkapnya.....

Kamis, November 08, 2007

Ikhwan dan Demokrasi

Celaan terhadap Ikhwan pun datang dari arah lain, yaitu demokrasi. Aktivitas Ikhwan dalam kancah politik dianggap sebagai indikasi keberhasilan fatamorgana demokrasi menipu dan membuai mereka. Partisipasi mereka dalam pemungutan suara atau pemilu dan parlemen adalah bukti taqlid terhadap sistem Barat dan sekulerisme yang justru kontraproduktif dengan upaya memerangi hegemoni Barat dan sekulerisme. Pengkritik menilai, setidak-tidaknya mayoritas dari mereka berpikir bahwa demokrasi adalah sistem kafir dari Barat dan merupakan syirk akbar. Bahkan pemungutan suara syirk juga karena pemilu adalah subsistem demokrasi. Demikianlah alasannya.

a. Tentang Demokrasi

Anggapan demokrasi itu syirk didasari pemahaman yang belum utuh. Sesungguhnya demokrasi saat ini mengalami deviasi makna. Tiap negara memiliki pemahaman sendiri. Demokratis di sebuah negara belum tentu demokratis di negara lain.

Kaum muslimin yang mengharamkan demokrasi memahaminya sebagai bentuk pemerintahan rakyat dengan kedaulatan tertinggi di tangan rakyat. Adapun di dalam Islam, kedaulatan tertinggi di tangan Allah Swt, bukan manusia; La Hukma Illa Lillah. Itu adalah perkataan yang benar, tetapi konteksnya tidak tepat. Tidak ada satupun aktivis Islam yang berbicara demokrasi dan mengambil manfaatnya benar-benar meyakini kedaulatan tertinggi ada di tangan rakyat. Sama sekali tidak terlintas dalam pikiran mereka pemahaman seperti itu. Setiap muslim, apalagi mufti harus bertindak hati-hati dalam memberikan penilaian. Terlalu mudah memvonis syirk atau haram sama bahayanya dengan terlalu mudah dalam membolehkannya.

Jika kita belum mengetahui betul masalah yang dihadapi, bertanyalah kepada ahlinya dalam hal ini, pakar atau pengamat politik. Jangan sampai fatwa yang keluar membuat gamang perjuangan yang sedang dilakukan atau dimanfaatkan musuh-musuh dakwah Islam untuk memarjinalkan politik umat Islam. Dalam hal ini, ada kaidah yang telah disepakati para ulama, Siapa yang menetapkan hukum sesuatu padahal dia tidak mengetahui secara pasti sesuatu tersebut, ketetapan hukumnya dianggap cacat walau secara kebetulan benar.

Harus diakui bahwa tidak ada kesamaan pandangan tentang makna demokrasi. Jadi, fatwa hukum yang diberikan pun tidak baku keharaman dan ke-syirk-annya. Kita pun dapat mengembalikan urusan itu kepada baraatul ashliyah (hukum awal)nya, yaitu mubah.

Ada pula yang memandang demokrasi berasal dari Barat yang kafir. Oleh karena itu, demokrasi (adalah) pola alien yang masuk ke dalam negeri-negeri muslim. Jika alasan itu dijadikan dasar pengharaman demokrasi, sesungguhnya hal itu tidak tepat. Memang benar demokrasi berasal dari sistem Barat. Namun, tidak ada yang mengingkari bahwa Rasulullah Saw pernah menggunakan cara orang Majusi (Persia) ketika Perang Ahzab, yaitu menggali khandaq (parit besar) atas usul sahabatnya dari Persia, Salman al Farisi. Nabi Saw pun memanfaatkan jasa tawanan Perang Badr untuk mengajarkan baca tulis kepada anak-anak kaum muslimin walaupun tawanan itu musyrik. Rasulullah Saw pernah pula membubuhkan stempel ketika mengirim surat dakwah kepada para penguasa sekitar Jazirah Arab sebagai bentuk pengakuan beliau terhadap kebiasaan yang mereka lakukan agar mereka mau menerima surat dakwahnya.

Jadi, tidak ada satu pun ketetapan syariat yang melarang mengambil kebaikan dari pemikiran teoritis dan pemecahan praktis nonmuslim dalam masalah dunia selama tidak bertentangan dengan nash yang jelas makna dan hukumnya serta kaidah hukum yang tetap. Oleh karena hikmah adalah hak muslim yang hilang, sudah selayaknya kita merebutnya kembali. Islam hanya tidak membenarkan tindakan asal comot terhadap segala yang datang dari Barat tanpa ditimbang di atas dua pusaka yang adil, alQuran dan asSunnah.

b. Esensi Demokrasi

Esensi demokrasi, terlepas dari berbagai definisi dan istilah akademis, adalah wadah masyarakat untuk memilih seseorang mengurus dan mengatur urusan mereka. Pimpinannya bukan orang yang mereka benci, peraturannya bukan yang mereka tidak kehendaki, dan mereka berhak meminta pertanggungjawaban penguasa jika pemimpin tersebut salah. Mereka pun berhak memecatnya jika menyeleweng, mereka juga tidak boleh dibawa ke sistem ekonomi, sosial, budaya atau sistem politik yang tidak mereka kenal dan tidak mereka sukai. Jika demikiran esensi demokrasinya, di mana letak pertentangannya dengan Islam? Mana dalil yang membenarkan anggapan itu?

Siapa saja yang mau merenungi esensi demokrasi, pasti akan mendapati kesamaannya dengan prinsip Islam, Misalnya, Islam mengingkari seseorang yang mengimami orang banyak dalam sholat, sementara makmum membenci dan tidak menyukainya. Rasulullah Saw bersabda, Ada tiga orang yang sholatnya tidak dianggat melebihi kepalanya sejengkal pun, lalu beliau menyebut orang yang pertama Orang yang mengimami suatu kaum, sedangkan mereka tidak menyukainya.(HR Imam ibnu Majah. Al Bushairi berkata dalam az Zawaid, isnad-nya shahih dan perawinya tsiqah dan Ibnu Hibban dalam shahihnya al Mawardi. Keduanya dari Ibnu Abbas).

Sebaik-baik pemimpin kamu kepala pemerintahan- adalah orang yang mencintai kamu dan kamu mencintainya, mendoakan kebaikanmu dan kamu mendoakan kebaikan untuknya. Sejelek-jeleknya pemimpin kamu adalah yang kamu benci dan ia membenci kamu, kamu mengutuknya dan ia mengutuk kamu. (HR Imam Muslim dari Auf bin Malik).

AlQuran pun mengecam para penguasa tiran di muka bumi, seperti Firaun, Namrudz, penguas kaum Ad, dan alat-alat penguasa, seperti Hamman dan tentaranya, serta bapak kapitalis dunia, Qarun. Hadis pun mengecam penguasa yang tiranik. Rasulullah Saw bersabda: Sesungguhnya di dalam neraka jahanam itu terdapat lembah dan di dalam lembah itu ada sumur bernama Hab-Hab yang Allah sediakan bagi penguasa yang sewenang-wenang dan menentang kebenaran. (HR Imam Thabrani denga sanad hasan. Begitu pula Imam Hakim dan disahihkan adz Dzahabi).

Dari Muawiyah Ra bahwa Rasulullah Saw bersabda: Sesudahku nanti akan ada pemimpin-pemimpin yang mengucapkan (instruksi) sesuatu yang tidak dapat disangkal. Mereka akan berdesak-desakan masuk neraka seperti berkerubutannya kera (HR Imam Abu Yala dan Imam at Thabrani dalam Shaih al Jami ash Shaghir).

Selain itu, ada hadis dari Muawiyah secara marfu (sanadnya sampai ke Nabi Saw): Tidaklah suci suatu kaum yang tidak dapat meutuskan perkara dengan benar di kalangan mereka dan orang lemahnya tidak dapat mengambil haknya dari orang yang kuat, melainkan dengan susah payah (HR Imam at Thabrani dan para perawinya terpercaya menurut Imam al Mundziri dan Imam al Haitsami).

Masih banyak hadist-hadist serupa yang bertebaran dalam kitab-2 hadist. Hal itu sekaligus menunjukkan bahwa jiwa demokrasi adanya keseimbangan antara state (negara/pemerintah/penguasa) dengan people (rakyat), persamaan sesama manusia, dan kewajiban meluruskan penguasa yang menyimpang sudah lama ada di dalam Islam. Dalam pidato pertamanya sejak diangkat menjadi khalifah, Abu Bakar ash Shiddiq Ra berkata, Wahai manusia! Kalian telah mengangkatku. Oleh karena itu, jika kalian melihat aku berada dalam kebenaran, bantulah aku. Taatilah aku selama aku taat kepada Allah dalam memimpin kalian. Jika aku melanggar Allah, tidak ada kewajiban taat bagi kalian kepadaku.32)

Adapun saat menjadi khalifah, Umar bin Khattab Ra pun pernah berkata, Mudah-mudahan Allah memberi rahmat kepada orang yang mau menunjukkan aibku kepadaku.

Beliau berkata pada kesempatan yang lain, Hali sekalian manusia! Siapa di antara kalian yang melihat kebengkokan pada diriku, hendaklah dia meluruskanku! Kemudain, ada salah seorang yang menjawab, Demi Allah, wahai putera alKhattab! Jika kami melihat kebengkokan pada diri anda, kami akan meluruskannya dengan pedang kami.

Pernah pula ada seorang wanita yang meluruskan kekeliruan Umar tentang mahar wanita, tetapi Umar tidak menganggapnya sebagai bentuk merendahkan harga dirinya. Beliau justru berkata, Benar wanita itu dan Umar yang salah (meski para ulama hadist masih mempersoalkan kesahihan riwayat dua cerita itu).

Kita dapat melihat betapa pemuka-pemuka umat itu telah mengajarkan cara hidup berdemokrasi yang hakiki. Begitu pula, kaum muslimin saat itu yang tidak punya rasa sungkan, apalagi takut untuk mengkritik penguasa yang menyimpang.

Islam telah mendahului paham demokrasi dengan menetapkan daidah-kaidah yang menjadi penopang esensi dan substansi demokrasi. Namun, Islam menyerahkan perincian dan penjabarannya kepada ijtihad kaum muslimin sesuai prinsip-prinsip ad Din dan maslahat dunia mereka, perkembangan kehidupan mereka, masa dan tempat, serta perkembangan situasi dan keadaan manusia.33)

Sebenarnya, penggunaan istilah-istilah asing seperti demokrasi untuk mengungkapkan makna-makna Islami bukanlah hal yang kita inginkan.34)

Namun, kita tidak mungkin menutup mata karena itulah istilah yang populer digunakan manusia. Justru kita harus mengerti maksudnya agar tidak salah paham atau mengartikannya dengan arti yang tidak sesuai dengan kandungannya atau tidak sesuai dengan maksud orang yang mengucapkannya. Dengan demikian, fatwa yang kita jatuhkan pun sehat dan seimbang.

Tidak masalah jika istilah-istilah itu datang dari luar kita karena kisaran fatwa bukan pada istilahnya, melainkan esensi dan substansinya. Judi tetaplah judi walau dinamakan SDSB. Khamr tetaplah khamr walau dinamakan jamu. Umar bin Khattab Ra pernah merelakan tidak menggunakan istilah jizyah kepada kaum Nashrani di bawah naungan kekuasaannya karena mereka merasa direndahkan dengan istilah itu. Umar menerimanya sambil berkomentar, Mereka adalah orang-orang bodoh. Mereka menolak nama (bungkus), tetapi menerima isinya.

Di dalam istilah Islam, ada ahli syura yang tergabung dalam ahlul halli wal aqdi sebagai lembaga perwakilan rakyat. Kepada merekalah aspirasi umat disalurkan, lalu dimusyawarahkan untuk dijalankan penguasa.35) Imam Ibnu Katsir mengemukakan di dalam tafsirnya dengan mengutip riwayat dari Ibnu Mardawaih dari Ali Ra bahwa ia pernah ditanya tentang maksud azam pada ayat, Bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu, kemudian jika kamu telah ber-azam, bertawakkal-lah kepada Allah. (QS Ali Imran:159). Berkata Ali Ra, Azam adalah keputusan ahlur rayi, kemudian mereka mengikutinya.

Dengan demikian, Anda boleh mengatakan, Inti demokrasi berdekatan dengan ruh syura Islam. Demikian itu menurut Qaradhawy.
Wallahul muwaffiq ilaa aqwamith thariq.

c. Persamaan dan Perbedaan antara Islam dan Demokrasi

Biasanya, setiap prinsip buatan manusia lemah. Jadi, sudah sewajarnya jika demokrasi memiliki cacat. Itulah yang membuatnya berbeda dengan syura Islam. Dalam hal persamaan dan perbedaan antara Islam dengan demokrasi, ada pandangan yang bagus dan seimbang dari salah seorang pemikir Islam, Dr. Dhiyauddin ar Rais.

Persamaan antara Islam dan Demokrasi36)

Dr. Dhiyauddin ar Rais mengatakan, Ada beberapa persamaan yang mempertemukan Islam dan demokrasi. Namun, perbedaannya lebih banyak. Persamaannya menyangkut pemikiran sisstem politik tentang hubungan antara umat dan penguasa serta tanggung jawab pemerintahan. Akhirnya, ar Rais sampai pada kesimpulan bahwa antara Islam dan demokrasi tidak hanya memiliki persamaan di bidang politik. Lebih dari itu, unsur-unsur yang terkandung dalam demokrasi dan keistimewaannya pun sudah terkandung di dalam Islam.

Dalam menerangkan hal itu, dia mengatakan, Jika yang dimaksud dengan demokrasi seperti definisi Abraham Lincoln: dari rakyat dan untuk rakyat pengertian itu pun ada di dalam sistem negara Islam dengan pengecualian bahwa rakyat harus memahami Islam secara komprehensif. Jika maksud demokrasi adalah adanya dasar-dasar politik atau sosial tertentu (misalnya, asas persamaan di hadapan undang-undang, kebebasan berpikir dan berkeyakinan, realisasi keadilan sosial, atau memberikan jaminan hak-hak tertentu, seperti hak hidup dan bebas mendapat pekerjaan). Semua hak tersebut dijamin dalam Islam.

Jika demokrasi diartikan sebagai sistem yang diikuti asas pemisahan kekuasaan, itu pun sudah ada di dalam Islam. Kekuasaan legislatif sebagai sistem terpenting dalam sistem demokrasi diberikan penuh kepada rakyat sebagai satu kesatuan dan terpisah dari kekuasaan Imam atau Presiden. Pembuatan Undang-Undang atau hukum didasarkan pada alQuran dan Hadist, ijma, atau ijtihad. Dengan demikian, pembuatan UU terpisah dari Imam, bahkan kedudukannya lebih tinggi dari Imam. Adapun Imam harus menaatinya dan terikat UU. Pada hakikatnya, Imamah (kepemimpinan) ada di kekuasaan eksekutif yang memiliki kewenangan independen karena pengambilan keputusan tidak boleh didasarkan pada pendapat atau keputusan penguasa atau presiden, jelainkan berdasarka pada hukum-hukum syariat atau perintah Allah Swt.

Perbedaan antara Islam dan Demokrasi37)

Menurut Dhiyauddin ar Rais, ada tiga hal yang membedakan Islam dan demokrasi. Pertama, dalam demokrasi yang sudah populer di Barat, definisi bangsa atau umat dibatasi batas wilayah, iklim, darah, suku-bangsa, bahasa dan adat-adat yang mengkristal. Dengan kata lain, demokrasi selalu diiringi pemikiran nasionalisme atau rasialisme yang digiring tendensi fanatisme. Adapun menurut Islam, umat tidak terikat batas wilayah atau batasan lainnya. Ikatan yang hakiki di dalam Islam adalah ikatan akidah, pemikiran dan perasaan. Siapa pun yang mengikuti Islam, ia masuk salah satu negara Islam terlepas dari jenis, warna kulit, negara, bahasa atau batasan lain. Dengan demikian, pandangan Islam sangat manusiawi dan bersifat internasional.

Kedua, tujuan-tujuan demokrasi modern Barat atau demokrasi yang ada pada tiap masa adalah tujuan-tujuan yang bersifat duniawi dan material. Jadi, demokrasi ditujukan hanya untuk kesejahteraan umat (rakyat) atau bangsa dengan upaya pemenuhan kebutuhan dunia yang ditempuh melalui pembangunan, peningkatan kekayaan atau gaji. Adapun demokrasi Islam selain mencakup pemenuhan kebutuhan duniawi (materi) mempunyai tujuan spiritual yang lebih utama dan fundamental.

Ketiga, kedaulatan umat (rakyat) menurut demokrasi Barat adalah sebuah kemutlakan. Jadi, rakyat adalah pemegang kekuasaan tertinggi tanpa peduli kebodohan, kezaliman atau kemaksiatannya. Namun dalam Islam, kedaulatan rakyat tidak mutlak, melainkan terikat dengan ketentuan-ketentuan syariat sehingga rakyat tidak dapat bertindak melebihi batasan-batasan syariat, alQuran dan asSunnah tapnpa mendapat sanksi.

Menurut Islam, kekuasaan tertinggi bukan di tangan penguasa karena Islam tidak sama dengan paham otokrasi. Kekuasaan bukan pula di tangan tokoh-tokoh agamanya karena Islam tidak sama dengan teokrasi.38) Begitupun bukan di tangan UU karena Islam tidak sama dengan nomokrasi atau di tangan umat karena Islam bukan demokrasi dalam pengertian yang sempit. Jawabannya, kekuasaan tertinggi dalam Islam sangat nyata sebagai perpaduan dua hal, yaitu umat dan undang-undang atau syariat Islam. Jadi, syariat pemegang kekuasaan penuh dalam negara Islam.

Dr. Dhiyauddin ar Rasi menambahkan, jika harus memakai istilah demokrasi tanpa mengabaikan perbedaan substansialnya sistem itu dapat disebut sebagai demokrasi yang manusiawi, menyeluruh (internasional), religius, etis, spiritual, sekaligus material. Boleh pula disebut sebagai demokrasi Islam atau menurut al Maududy demokrasi teokrasi. Demokrasi seperti itulah yang dipahami aktivis Islam termasuk Ikhwanul Muslimun saat terjun di dalam kehidupan politik dan bernegara di negara demokrasi.

Ustadz Mamun al Hudhaibi39) hafizhahullah pernah ditanya pandangan Ikhwan tentang demokrasi dan kebebasan individu. Katanya, Jika demokrasi berarti rakyat memilih orang yang akan memimpin mereka, Ikhwan menerima demokrasi. Namun, jika demokrasi berarti rakyat dapat mengubah hukum-hukum Allah Swt dan mengikuti kehendak mereka, Ikhwan menolak demokrasi. Ikhwan hanya mau terlibat dalam sistem yang memungkinkan syariat Islam diberlakukan dan kemungkaran dihapuskan. Menolong, meskipun sedikit, masih lebih baik daripada tidak menolong. Mengenai kebebasan individu, Ikhwan menerima kebebasan individu dalam batas-batas yang dibolehkan Islam. Namun, kebebasan individu yang menjadikan muslimah memakai pakaian pendek, minim dan atau seperti pria adalah haram dan Ikhwan tidak akan toleran dengan hal itu.40)

---------------------------------------

[32] Ucapan Abu Bakar Ra itu merupakan bantahan yang telak kepada pihak yang tetap memrintahkan taat kepada penguasa yang zalim dan durhaka kepada Allah Swt selama bukan perintah maksiat. Meski begitu, tidak dibenarkan bagi rakyat untuk memberontak karena akan melahirkan kezaliman yang lebih besar.

[33] Ibid. hlm. 928.
[34] Syaikh as Shabuni berkata, Kaum muslimin dibolehkan menggunakan istilah yang kurang baik untuk makna yang baik seperti perkataan Rasulullah Saw, Kerahiban umatku adalah jihad fi sabilillah meskipun alQuran pada dasarnya mencela makna rahbaniyah. Allah Swt berfirman, Mereka mengada-adakan rahbaniyah, padahal Kami tidak mewajibkannya kepada mereka. Mereka sendirilah yang mengada-adakannya untuk mencari ridha Allah. (QS. Al Hadid: 27).

[35] Para ulama berbeda pendapat tentang keputusan ahli syura: wajib dijalankan penguasa atau sekedar anjuran; boleh menolak atau menerima. Hasal al Banna berpendapat sebagai anjuran saja, sedangkan al Qaradhawy berpendapat wajib dijalankan.

[36] Fahmi Huwaidi, Demokrasi Oposisi dan Masyarakat Madani, hlm. 196-198.
[37] Ibid. hlm. 198-200.
[38] Di masa lalu, kaum agamawan Nashrani yang menjadi penguasa sebuah negeri menganggap keputusan mereka adalah keputusan Tuhan. Perkataan dan perbuatan mereka adalah rekomendasi dari Tuhan sehingga rakyat tidak punya hak bertanya mengapa?, apalagi menolak karena semua datang dari Tuhan. Hal itu amat rentan dengan kesewenangan pemimpin dengan menjadikan Tuhan sebagai legitimasi. Namun, Islam tidak menghendaki demikian. Meski para Khulafaur Rasyidin adalah fuqaha, mereka tidak pernah menganggap dirinya wakil Tuhan di bumi. Keputusan selalu mereka ambil melalui syura (musyawarah).

[39] Beliau adalah putera dari mursyid am kedua Ikhwan, Prof. Hasan al Hudhaibi. Pertanyaan itu muncul ketika beliau masih menjabat juru bicara resmi Ikhwan.

[40] Ishlah edisi 67/th. IV/1996, hlm. 24, kol. 2-3.

Selengkapnya.....

Rabu, Oktober 31, 2007

Dalil Disyariatkannya Keragaman Metode & Cara Dakwah Pada Masa Nabi & Rasul

Al-Ikhwan.net | 10 January 2007 | 20 Dzulhijjah 1427 H | Hits: 5,147
Abi AbduLLAAH

AL-ADILLATU ‘ALAA MASYRU’IYYATI AT-TANAWWU’IL WASAA’ILI WAL ASAALIBI AD-DA’AWIYATI FII ‘ASHR AL-ANBIYAA’I WAL MURSALIIN

Ikhwah wa akhawat fiddiin,

Berbagai uslub & iqtiraahaat (cara & metode) dakwah adalah merupakan sebuah ijtihad AL-IKHWAN dalam meletakkan prioritas dalam berdakwah berdasarkan kedekatan & kemudahan dalam perbaikan dan pembangunannya, oleh karena hal ini merupakan makaanul-ijtihaad (tempat ijtihad) maka ia sama sekali bukan hal yang bersifat qath’iy (tidak bisa berubah).

Mungkin ada yang akan mengatakan bahwa mereka akan atau ingin menggunakan metode dakwah & cara yang lain, maka kepada mereka kami katakan: Min fadhlika wa ihsaanika (Silakan).. Karena tujuan AL-IKHWAN membuat tahapan-tahapan dalam dakwah adalah hanya untuk menentukan skala prioritas & penetapan target-target yang terukur & terencana dengan baik. Bisa jadi ada yang menggunakan cara berbeda, maka itupun ijtihaad pula, yang penting tidak didasari semangat hizbiyyah (merasa hanya kelompoknya saja yang sesuai sunnah) atau ta’ashhubiyyah (fanatik terhadap kelompok/pemikiran sendiri)..

Jika dikatakan mengapa AL-IKHWAN berani mengatakan bahwa hal ini termasuk makaanul-ijtihaad? Dan apakah tidak cukup kita meniru salaful-ummah saja? Ana katakan jika kita melihat sirah para anbiyaa’ wal mursaliin -Semoga shalawat serta salam senantiasa tercurah pada mereka semua- sebagai sebaik-baik salaful-ummah, maka antum akan dapatkan berbagai ijtihaad mereka dalam masalah ini & tidak hanya menggunakan 1 cara saja, yang kesemua ijtihaad mereka itu tercantum dalam KitabuLLAAH, bilaa naskh fiihaa (tanpa di-nasakh oleh ALLAAH), lihatlah ayat-ayat sebagai berikut:

1. MAWQIFU NUH: DAKWAH SECARA RAHASIA DAN TERANG-TERANGAN

ALLAAH - Yang Maha Suci lagi Maha Tinggi - berfirman tentang Nuh -Semoga shalawat serta salam senantiasa tercurah pada beliau- sebagai berikut:

“Kemudian sesungguhnya aku telah menyeru mereka (kepada iman) dengan cara terang-terangan. Kemudian sesungguhnya aku (menyeru) mereka (lagi) dengan terang-terangan dan dengan diam-diam.” (QS Nuh, 71/8-9)

Dalam ayat di atas digambarkan bagaimana berbagai metode dakwah telah ditempuh oleh Nabi Nuh -Semoga shalawat serta salam senantiasa tercurah pada beliau- dalam mendakwahi kaum & ummatnya. Nuh -Semoga shalawat serta salam senantiasa tercurah pada beliau- adalah 1 di antara ‘ulul-’azmi minar rusul (Rasul-rasul yang memiliki ‘azzam yang kuat yang merupakan Rasul-rasil yang paling tinggi derajatnya disisi ALLAH SWT [1]), dimana beliau ‘alaihish shalatu was salam telah melakukan berbagai metode dalam dakwahnya baik sirriyyah maupun ‘alaniyyah.

Berkata Imam at-Thabari [2] bahwa makna ASRARTU LAHUM ISRARA adalah: Hanya antara Nuh -Semoga shalawat serta salam senantiasa tercurah pada beliau- dengan kaumnya secara rahasia. Berkata Imam Al-Qurthubi [3] bahwa maknanya adalah Nuh -Semoga shalawat serta salam senantiasa tercurah pada beliau- mendatangi mereka satu persatu ke rumah-rumah mereka. Sementara Imam An-Nasafi [4] menyebutkan bagaimana Nuh -Semoga shalawat serta salam senantiasa tercurah pada beliau- mengoptimalkan semua potensi dan semua cara dalam berdakwah, pertama beliau -Semoga shalawat serta salam senantiasa tercurah pada beliau- mendakwahi kaumnya secara rahasia siang & malam, lalu beliau -Semoga shalawat serta salam senantiasa tercurah pada beliau- mendakwahi mereka secara terang-terangan, kemudian beliau -Semoga shalawat serta salam senantiasa tercurah pada beliau- menggabungkan cara rahasia dengan cara terang-terangan, demikianlah cara ber-amar ma’ruf nahyul munkar, hendaklah dimulai dengan rahasia & lembut lalu jika tidak berhasil maka barulah menggunakan cara terang-terangan & tegas.

Imam al-Maqrizi dalam kitabnya [5] menyitir pendapat ‘Urwah bin Zubair, Ibnu Syihab & Ibnu Ishaq tentang waktu antara awal kenabian (turunnya QS Al-’Alaq di gua Hira’) sampai turunnya ayat FASHDA’ BIMAA TU’MARU WA A’RIDH ‘ANIL MUSYRIKIIN [6] sampai pada WA ANDZIR ‘ASYIIRATAKAL AQRABIIN [7] dan ayat QUL INNII ANAN NADZIIRUL MUBIIN [8] adalah 3 tahun, Al-Baladziri [9] menyebutkan 4 tahun. Ada pula beberapa pendapat yang menganggap masa terputusnya wahyu tersebut sekitar 40 hari, 15 hari atau bahkan 3 hari [10].

Dalam sirah [11] disebutkan saat Abubakar -Semoga ALLAH yang Maha Suci lagi Maha Tinggi meridhoi beliau- memulai dakwah maka ia mulai mengajak kepada ALLAH & Islam, yaitu orang yang diyakinkannya bisa merahasiakan & mendengarkan dakwah, melalui dakwahnya maka masuk Islamlah Utsman bin Affan, Zubair bin Awwam, AbduRRAHMAN bin Auf, Sa’d bin Abi Waqqash & Thalhah bin ‘UbaidiLLAH -Semoga ALLAH yang Maha Suci lagi Maha Tinggi meridhoi mereka-. Dalam riwayat masuk Islamnya Ammar -Semoga ALLAH yang Maha Suci lagi Maha Tinggi meridhoi beliau- di antaranya disebutkan [12]: “… aku melihat RasuluLLAH -Semoga shalawat serta salam senantiasa tercurah pada beliau- sedang bersembunyi karena dimusuhi kaumnya…” Bukti lain atas masalah ini ialah perkataan Imam Ibnu Hajar dalam syarahnya atas Shahih Bukhari [13], beliau menyebutkan bahwa timbulnya perbedaan pendapat tentang siapa yang lebih dulu masuk Islam disebabkan masing-masing sahabat -Semoga ALLAH yang Maha Suci lagi Maha Tinggi meridhoi mereka- tidak tahu siapa saja yang sudah Islam. Bukti lain dakwah Nabi -Semoga shalawat serta salam senantiasa tercurah pada beliau- secara rahasia pada periode awal tersebut adalah kisah masuk islamnya segolongan Jin yang diriwayatkan dalam hadits shahih [14] yaitu saat Nabi -Semoga shalawat serta salam senantiasa tercurah pada beliau- mengumpulkan para sahabatnya di luar Makkah.

Dalam sunnah Nabi muhammad -Semoga shalawat serta salam senantiasa tercurah pada beliau- terlihat bahwa fase dakwah sirriyyah berakhir setelah Nabi -Semoga shalawat serta salam senantiasa tercurah pada beliau- mendapatkan jaminan keamanan dari ALLAH -Yang Maha Suci lagi Maha Tinggi- [15]. Demikianlah yang harus diikuti, yaitu pertimbangan sirriyyah & ‘alaniyyah dalam berdakwah adalah keamanan & perkiraan sampai serta diterimanya dakwah itu sendiri, setelah dakwah aman dilakukan secara jahriyyah, maka wajib bagi para da’i menyampaikannya secara jahriyyah, dan itulah yang dilakukan oleh para da’i AL-IKHWAN sesuai dengan as-sunnah yang shahih sampai saat ini, waliLLAHil hamdu wal minah.

Jika dikatakan bahwa peristiwa sirriyyah itu telah dihapuskan (di-nasakh) dengan ayat WA ANDZIR ‘ASYIIRATAKAL AQRABIIN [16] dan ayat YAA AYYUHAR RASUL BALLIGH MAA UNZILA ILAYKA MIN RABBIKA [17], maka saya katakan bahwa ayat ini sama sekali tidak menasakh dakwah sirriyyah, selain karena dakwah sirriyyah merupakan cara dakwah yang diakui dalam Al-Qur’an & tidak pernah dihapuskan hukumnya, selain itu nabi SAW-pun pernah melakukan dakwah sirriyyah ini sekalipun setelah ayat-ayat di atas diturunkan. Seperti saat peristiwa bai’ah Aqabah pertama [18], pada saat janji setia yang bukan janji untuk berperang ini beliau -Semoga shalawat serta salam senantiasa tercurah pada beliau- melakukannya dengan sembunyi-sembunyi. Demikian pula saat peristiwa ‘Aqabah yang kedua [19], yang disebut sebagai janji setia untuk peperangan [20] juga dilakukan di malam hari dan secara sembunyi-sembunyi [21], bahkan sesama suku Aus & Khazraj yang musyrik sama sekali tidak saling tahu [22]. Saat peristiwa hijrah sebagian besar sahabat ber-hijrah secara sembunyi-sembunyi [23], bahkan beliau -Semoga shalawat serta salam senantiasa tercurah pada beliau- pun melakukannya dengan sembunyi-sembunyi [24] walaupun sebagian sahabat ra ada pula yang melakukannya secara terang-terangan [25]. Demikianlah baik sembunyi-sembunyi ataupun terang-terangan adalah bagian dari metode dakwah, keduanya dapat dilakukan sesuai dengan maslahat dakwah. SELESAI.

2. MAWQIFU YUSUF: BERKOALISI DENGAN PEMERINTAH SEKULAR

Sementara kita dapati ijtihad yang berbeda dari Nabi Yusuf -Semoga shalawat serta salam senantiasa tercurah pada beliau- sebagaimana dituturkan dalam ayat yang mulia berikut ini:

“Berkata Yusuf: “Jadikanlah aku sebagai menteri perbendaharaan negara (Mesir); Sesungguhnya aku adalah orang yang pandai menjaga, lagi berpengetahuan”.” (QS Yusuf, 12:55)

Berkata Imam At-Thabari dalam tafsirnya atas ayat tersebut (VII/241). Berkata Ibnu Zaid tentang makna kalimat QAALAJ’ALNII…: bahwa Fir’aun Mesir tersebut memiliki banyak sekali pembantu-pembantu selain untuk urusan menteri perbendaharaan (pertanian), maka semua pembesar Mesir setuju pada pengangkatan Yusuf di posisi tersebut & mereka semua tunduk pada putusannya. Berkata Syaibah Adh-Dhabiy: Maksudnya mengurus urusan pangan. Adapun makna INNII HAFIIZHUN ‘ALIIM: Hafiizh (mampu amanah dalam mengurus) tugas tersebut & ‘aliim (tahu ilmunya) atas pekerjaan tersebut.

Berkata Imam Ibnu Katsir dalam tafsirnya (II/633). Dalam ayat ini menunjukkan dibolehkan bagi seseorang memuji dirinya sendiri (tentang kelebihan & potensinya), jika orang lain tidak tahu & hal tersebut dibutuhkan.

Imam Al-Baghawiy dalam tafsirnya (I/251) menyitir hadits Nabi SAW dari Ibnu Abbas ra: “Semoga ALLAH SWT merahmati akhi Yusuf as, seandainya ia menyatakan ANGKATLAH AKU SEBAGAI MENTERI PERBENDAHARAAN, saat pertama bertemu maka ia akan diangkat. Tetapi ia sengaja mengakhirkannya selama setahun, sehingga ia bisa bersama Raja Mesir tersebut di rumahnya.”

Berkata Imam Al-Qurthubi dalam tafsirnya (IX/181): Di dalam ayat ini ada beberapa hukum fiqh sebagai berikut:

PERTAMA, beliau (Yusuf a.s.) menjelaskan (memperkenalkan) siapa dirinya, yaitu orang yang mampu mengurus amanah tersebut & tahu ilmunya.

KEDUA, berkata sebagian ulama (di antaranya Imam Al-Mawardi) bahwa para ulama berbeda pendapat tentang makna ayat ini, berkata sebagiannya bahwa dibolehkan bagi seorang yang memiliki keutamaan untuk bekerja pada seorang yang pendosa (fajir) atau penguasa yang kafir dengan syarat ia mengetahui hal-hal yang salah sehingga ia bisa memperbaikinya semampunya. Adapun jika yang dilakukannya tersebut untuk menuruti syahwat sang pendosa, maka hal yang demikian tidak diperkenankan. Dan berkata sebagian ulama lainnya, bahwa hukum ini hanya khusus untuk Yusuf a.s saja, & tidak berlaku bagi selainnya. Tetapi menurutku (Imam Al-Qurthubi) pendapat yang pertama lebih kuat, waLLAHu a’lam.

KETIGA, dalam ayat ini juga menunjukkan hukum dibolehkannya seseorang untuk menyampaikan keahliannya dalam sebuah pekerjaan. Ada yang menyatakan bahwa hal ini bertentangan dengan hadits riwayat Muslim dari AbduRRAHMAN bin Samrah ra, dimana telah bersabda nabi SAW: “Wahai AbduRRAHMAN jangan engkau meminta kekuasaan, karena sesungguhnya jika engkau diberi karena engkau memintanya maka ia dibebankan seluruhnya padamu, sedangkan jika engkau diberi tanpa engkau memintanya maka engkau akan ditolong (ALLAH SWT).” Maka jawabanku (Imam Al-Qurthubi) atas hal ini 2 hal sebagai berikut: 1) ketika Yusuf a.s. meminta kekuasaan tersebut ia mengetahui tidak ada seorangpun yang lebih adil & lebih baik untuk menyantuni fakir-miskin untuk tugas tersebut, sehingga menjadi fadhu ‘ain baginya & bagi siapapun selain Yusuf a.s untuk menyampaikan kemampuannya, & maju ke depan mengambil jabatan tersebut. Adapun jika ia melihat ada orang lain yang lebih adil dari dirinya & lebih mampu maka wajib baginya menyerahkan pada orang lain tersebut sebagaimana hadits Muslim di atas. 2) Bahwa Yusuf a.s tidak memuji dirinya sendiri, ia tidak mengatakan bahwa ia orang baik atau ia tampan, melainkan ia hanya menyampaikan informasi yang benar tentang kemampuannya & tidak menyembunyikannya. Sehingga berkata Nabi SAW memuji Yusuf a.s: “AL-KARIIM, IBNUL KARIIM, IBNUL KARIIM, IBNUL KARIIM YUUSUF BIN YA’QUUB BIN ISHAAQ BIN IBRAHIIM.” 3) Bahwa beliau menyampaikan tentang hal tersebut karena orang-orang belum tahu, sehingga beliau a.s. menganggap fardhu ‘ain atas dirinya untuk menjelaskan agar mereka mengetahuinya, 4) Bahwa hal ini menjadi hukum bolehnya seseorang untuk mensifati dirinya tentang kemampuan & kelebihannya, berkata Imam Al-Mawardi bahwa maksudnya bukan seluruh kelebihannya disampaikan, melainkan hanya yang berkaitan dengan jenis pekerjaan yang sedang/akan dihadapi tersebut.

3. MAWQIFU HARUN: MEMBIARKAN KEMUSYRIKAN KARENA PERTIMBANGAN MASHLAHAT YANG JELAS & PASTI YANG LEBIH BESAR

Lalu kita dapati pula ijtihad lain dari Nabi Harun -Semoga shalawat serta salam senantiasa tercurah pada beliau- sebagaimana dituturkan dalam ayat yang mulia berikut ini:

“Harun menjawab’ “Hai putera ibuku, janganlah kamu tarik janggutku dan jangan (pula rambut) kepalaku; Sesungguhnya aku khawatir bahwa kamu akan berkata (kepadaku): “Kamu Telah memecah antara Bani Israil dan kamu tidak memelihara amanatku”.” (QS Thaha, 20:94)

Berkata Imam At-Thabari [26] saat menafsirkan kalimat: “Sungguh aku takut kamu berkata… dst”; bahwa maknanya menurut sebagian ulama [27] adalah bahwa Harun kuatir sebagian kaumnya akan mengikutinya sementara sebagian yang lain akan menyelisihinya. Sementara menurut sebagian ulama yang lain [28] maknanya adalah Harun kuatir sebagian memerangi sebagian yang lain.

Catatan Kaki:

[1] Tafsir Ibnu Katsir, IV/219; At-Thabari XI/302

[2] Tafsir At-Thabari, XII/248

[3] Tafsir Al-Qurthubi, XVIII/120

[4] Tafsir An-Nasafi, IV/282

[5] Imta’ul Asma’, I/15 (ditahqiq oleh Syaikh Muhammad Syakir)

[6] QS Al-Hijr, 15/94

[7] QS Asy-Syu’araa’, 26/214

[8] QS Al-Hijr, 15/89

[9] Ansab al-Asyraf, I/116

[10] Ini juga disebutkan dalam Ash-Shahihain dari hadits Ummu Jamil bin Harb tentang turunnya QS Adh-Dhuha.

[11] Sirah Ibnu Hisyam, I/262-269.

[12] Shahih Muslim, I/596

[13] Fathul Bari’, VII/84

[14] Shahih Muslim bis Syarh Nawawi, IV/168-170

[15] QS Al-Hijr, 15/95

[16] QS Asy-Syu’araa’, 26/214

[17] QS Al-Ma’idah, 5/67

[18] Sirah Ibnu Hisyam, II/41-42, lih. Juga dalam Fathul Bari’ I/66 & Shahih Muslim III/1333

[19] Ibid, I/438

[20] Ibid, II/63; lih. Juga Musnad Ahmad V/316

[21] Ibid, I/439-443, 447-448; lih. Juga Fathul Bari’ VII/221; Musnad Ahmad III/460

[22] Ibid.

[23] Ibid, I/468; juga Fathul Bari’ VII/260-261; Shahih Muslim II/632

[24] Fathul Bari’ , VII/226, 231-232, 389; Al-Bidayah wan Nihayah, III/179; Syarhul Mawahib liz Zarqani, I/323; Musnad Ahmad, I/248; lih. Juga tafsir QS Al-Anfal, 8/30; QS At-Taubah, 9/40.

[25] Fathul Bari’, VII/260

[26] Tafsir At-Thabari, XVIII/360

[27] Telah menceritakan Yunus, telah menceritakan Ibnu Wahhab dari Ibnu Zaid.

[28] Telah menceritakan Al-Qasim, telah menceritakan Al-Husein, telah menceritakan Hajjaj, dari Ibnu Juraij.

Selengkapnya.....

Dongeng Sholat

Ada seorang manusia yang bertemu dengan setan di waktu subuh. Entah bagaimana awalnya, akhirnya mereka berdua sepakat mengikat tali persahabatan. Ketika waktu subuh berakhir dan orang itu tidak mengerjakan shalat, maka setan pun sambil tersenyum bergumam, "Orang ini memang boleh menjadi sahabatku..!"

Begitu juga ketika waktu Zuhur orang ini tidak mengerjakan shalat, setan tersenyum lebar sambil membatin, "Rupanya inilah bakal teman sejatiku di akhirat nanti..!"

Ketika waktu ashar hampir habis tetapi temannya itu dilihatnya masih juga asik dengan kegiatannya, setan mulai terdiam......

Kemudian ketika datang waktunya magrib,temannya itu ternyata tidak shalat juga, maka setan nampak mulai gelisah, senyumnya sudah berubah menjadi kecut. Dari wajahnya nampak bahwa ia seolah-olah sedang mengingat-ngingat sesuatu.

Dan akhirnya ketika dilihatnya sahabatnya itu tidak juga mengerjakan shalat Isya, maka setan itu sangat panik. Ia rupanya tidak bisa menahan diri lagi,dihampirinya sahabatnya yang manusia itu sambil berkata dengan penuh ketakutan, "Wahai sobat, aku terpaksa memutuskan persahabatan kita!"

Dengan keheranan manusia ini bertanya, "Kenapa engkau ingkar janji bukankah baru tadi pagi kita berjanji akan menjadi sahabat?".

"Aku takut!",jawab setan dengan suara gemetar.

"Nenek moyangku saja yang dulu hanya sekali membangkang pada perintah-Nya, yaitu ketika menolak disuruh "sujud" pada Adam, telah dilaknat-Nya; apalagi engkau yang hari ini saja kusaksikan telah

lima

kali membangkang untuk bersujud pada-Nya (Sujud pada Allah). Tidak terbayangkan olehku bagaimana besarnya murka Allah kepadamu !", kata setan sambil beredar pergi.


Selengkapnya.....